Follow Us

IDHAR RESMADI: Jangan Lihat Musik Cuma Sebagai Pasar

Rizki Ramadan - Rabu, 22 Maret 2017 | 04:30
Idhar Resmadi, Pengamat Musik
Rizki Ramadan

Idhar Resmadi, Pengamat Musik

Mereka dulu tumbuh dalam kultur di kampus yang mengedepankan nilai-nilai kreativitas dan eksplorasi. Tampil di acara-acara kampus yang relatif “kecil”.

"Kalau sekarang kan beda, anak-anak kampus seolah jadi organizer professional yang ngundang artis. Gengsi yang lebih diutamakan dibandingkan eksplorasi ide dan kreativitas itu sendiri."

Di artikel yang lo tulis lo pernah nyinggung tentang pendidikan formal di bidang musik. Seberapa perlu sih pendidikan formal di bidang musik? Mengingat sekarang ini jadi anak sma yang milih jurusan musik pasti dianggap sebelah mata sama ortunya, dan banyak musisi pun nempuh jalur otodidak.

Wah, kalau soal ini memang agak susah yah. Bayangkan, musik barat yang dibawa ke Indonesia oleh Bangsa Portugis dan Bangsa Belanda memang selalu dalam konteks hiburan, dan bukan pendidikan. Musik-musik yang lebih populer di masyarakat adalah musik-musik yang dibawa oleh kedua bangsa tadi seperti musik keroncong, dibandingkan dengan musik klasik. Kemudian gedung-gedung kesenian dan alun-alun dipenuhi oleh orang-orang yang ingin menonton musik. Jadi, yah, selama berabad-abad musik bagi masyarakat kita itu baru sebatas hiburan.

Hal ini berbeda dengan kondisi di Jepang ketika melakukan modernisasi beberapa abad lalu, yang mereka kedepankan itu musik klasik sebagai bagian dari pendidikan formal. Karena musik punya kemampuan untuk merangsang berpikir abstrak dan berimajinasi. Jadi kita memang tertinggal cukup jauh untuk untuk menjadikan musik sebagai bagian dari pendidikan formal.

Yah, akhirnya tertanam benak di masyarakat jika orang yang ingin belajar musik atau menempuh jalur musik pasti dianggap sebelah mata. Karena musik, sebatas hiburan. Padahal kan kalau musik dalam konteks pendidikan formal banyak manfaatnya. Ilmiahnya kan musik mampu merangsang perkembangan otak. Untuk mengedepankan semangat inovasi dan kreativitas, perlu kemampuan berpikir abstraks dan berimajinasi dengan baik. Pendidikan formal musik, rasanya perlu digalakkan melalui program dan kebijakan yang terintegrasi dengan pemberdayaan sumber daya kreativitas. Sedari dini mungkin.

Sebagai mantan pemred majalah Ripple, menurut lo, gimana peran media alternatif sekarang ini dalam turut menghidupkan musik sidestream? Seberapa perlu sih, kita sama media seperti itu?

Media mungkin salah satu dari ekosistem yang ada. Saat ini yang terjadi media kan hanya dijadikan sebatas untuk promosi. Hal ini jauh berbeda ketika tahun 1970-an, media musik seperti Aktuil memang dijadikan ajang pembelajaran. Makanya yang tumbuh adalah semangat kritik musik. Namun, ketika memasuki era industrialiasi di dunia media massa, yang terjadi media musik hanya sebatas jadi media promosi hanya demi kepentingan industri. Kritik musik akhirnya nggak terlalu hidup. Beberapa waktu lalu memang sempat hidup oleh situs semacam Jakartabeat. Sayangnya sekarang “mati suri” lagi. Kalau media untuk promosi album sudah banyak, tapi media yang tumbuh sebagai ajang pembelajaran sebagai bentuk kritik, itu yang saya rindukan.

Terakhir, apa pesan lo untuk kawula sidestream nusantara?

Yang penting sih harus jadi komunitas yang produktif dan aktif. Di tengah situasi komodifikasi dan nihil dukungan pun, mindset agar terus berkarya, bereksplorasi, dan berinovasi harus tetap tumbuh. Klise sih. Tapi kenyataannya tetap terus berkembang sekarang. Bekali diri dan makin pintar

Editor : Hai

PROMOTED CONTENT

Latest