Follow Us

IDHAR RESMADI: Jangan Lihat Musik Cuma Sebagai Pasar

Rizki Ramadan - Rabu, 22 Maret 2017 | 04:30
Idhar Resmadi, Pengamat Musik
Rizki Ramadan

Idhar Resmadi, Pengamat Musik

Idhar bukan dikenal sebagai personel band, tapi ia punya peran penting dalam membuat musik arus pinggir semakin deras. Cowok berambut ikal cepak berkacamata ini mudah ditemui di gigs indie dan sekitaran komunitas kreatif Bandung; banyak juga band yang sudah ia wawancara lalu ia buat dari artikel hingga buku. Ya, Idhar pernah bekerja di majalah cutting edge paling pamor dari Bandung, Ripple Magz, sebagai penulis hingga Editor in Chief. Terakhir, Idhar menulis Based on True Story, buku biografi Pure Saturday.

Di sela-sela pekerjaannya sebagai dosen di Telkom University, cowok lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad yang lanjut kuliah di Studi Pembangunan ITB ini masih sering menyempatkan diri menulis opini tentang musik.

Lewat email, HAI mewawancara Idhar. Ada 12 pertanyaan yang kemudian ia jawab hingga 9 halaman Ms Words. Ini menujukkan betapa Idhar peduli banget dengan perkembangan musik di kotanya. Jika di versi majalah ini kalian dipersilakan baca versi yang dipadatkan, wawancara lebih panjangnya ada di HAI-online ini. Mari duduk manis, siapkan lagu-lagu Pure Saturday atau Polyester Embassy, lalu simak obrolan HAI ini.

Menurut lo, apa sih yang bikin musik sidestream ini makin kenceng banget?

Kalau menurut gue, salah satu faktor yang bikin makin berkembang saat ini yaitu kepercayaan diri. Saat ini, zaman sudah berbeda jauh dengan sepuluh atau dua puluh tahun lalu. Perkembangan teknologi komunikasi membuat kita memasuki era “quantum leap” atau lompatan-lompatan kreativitas yang super-cepat. Yang gue lihat sekarang ini banyak band-band baru atau label-label rekaman baru dan mereka produktif. Kalau dulu, sebelum rilis album tuh, band harus cari “massa” dulu. Banyak manggung sana-sini dulu. Kalau udah punya “massa”, maka baru ada label yang rilisin albumnya. Atau bagaimana dulu kalau mau sukses itu harus bisa masuk ke radio dan TV, atau harus hijrah dulu ke “pusat” (baca: Jakarta). Nah, gue pikir format seperti itu udah ketinggalan.

Teknologi membuat kita masuk pada era kuantum leap. Tiba-tiba ada band baru rilis padahal sedikit sekali manggungnya. Atau bermunculan label-label rekaman baru. Tiba-tiba band dari Jatinangor macam Oscar Lolang bisa diperbincangkan. Jadi sekarang ekosistem udah saling mendukung, mau duplikasi rekaman (kaset/CD/vinyl) udah gampang, atau nyari gigs, asal tekun, pun bisa-bisa aja.

Spesifik ke scene Bandung, gimana geliat musik di sana saat ini Dhar? Gimana regenerasi band-band di sana?

Kondisi geliat musik di kota ini yah ditentukan oleh anak muda. Kalau yang gue rasakan sih, secara kuantitas emang gigs masih rutin, atau masih banyak band yang rilis album. Label rekaman emang nggak terlalu banyak, tapi setidaknya masih konsisten, lah.

Kalau ngomongin pasar, Bandung sih masih gede yah. Cuma sayang aja jika potensi anak muda ini hanya sebatas jadi pasar. Maka, perlu didorong agak mereka percaya diri untuk jadi lebih produktif dalam bidang apapun. Karena anak muda di Bandung kan semua ada, dari anak bandnya, organizer-nya, labelnya, desainernya, dan pasarnya juga ada sendiri.

"Yang dibutuhkan adalah kepercayaan diri rilis karya yang produktif dan konsisten."

Regenerasi sih hampir sudah muncul banyak band-band baru. Beberapa kolektif bahkan masih membuat inisiatif membuat gigs secara mandiri.

Pada satu sisi, persoalan komodifikasi emang tak bisa kita hindari, karena lazimnya kota besar yang punya potensi pasar, korporat-korporat (terutama rokok) tentu akan menjadikan komunitas ini sebagai komoditas. Gue pikir ini isu yang cukup lama karena juga terjadi di hampir semua kota besar, terutama yang punya komunitas musik. Kita hanya perlu memanfaatkannya aja supaya jadi lebih baik. Jadi, saling memanfaatkan saja.

Bandung menjadi Kota Musik, apa pendapat lo, Dhar? Gimana posisi musisi indie di wacana ini?

Editor : Hai

PROMOTED CONTENT

Latest