Follow Us

Felix Dass: Kalau Mau Dukung Musik Indie, Jangan Minta Gratisan!

Rizki Ramadan - Rabu, 21 Maret 2018 | 13:00
Felix Dass
Rizki Ramadan

Felix Dass

Suatu malam gue ngobrol sama Indra Ameng. Gue lagi mengerjakan buku White Shoes and The Couples Company tetang perjalannya ke Darwin pada 2013 lalu. Buku foto dokumentasinya mau dirilis. WSATCC baru buka space di gudang Sarinah. Ameng memaksudkan space itu agar WSATCC bisa tetap hidup. Mereka dilatih untuk berdikari. Mereka mengantisipasi, Sari baru nikah dan bisa saja hamil. Kalau sebelumnya WSATCC pernah ditinggal Mela saat ia hamil, tapi posisinya bisa digantikan. Semua personel di WSATCC bisa diganti kecuali Sari. Tapi, kru-krunya tetap harus hidup kan? Ameng memikirkan itu. Akhirnya mereka bangun space itu biar krunya berdikari.

Contoh lainnya Payung Teduh, ketika belum bisa bikin album baru, akhirnya mereka bikin album LIVE. Seringai juga, mereka baru mau rilis album baru. Tapi yaudah, mereka, kan punya Lawless. Itu wujud kerja keras yang perlu dilakukan. Kerja keras itulah yang bikin lo bisa sustain.

Kadang, being independent itu terkesan gampang, enak, dan simpel. Tapi sebenernya nggak. Konsekuensinya susah. Dan mesti repot sendiri. Makanya dari sekian banyak band indie di sini, yang bisa jadi raksasa nggak bisa nyampe seratus.

Jadi, ketidaksanggupan untuk kerja keras itu yah yang bikin scene ini suka timbul tenggelam?

Pada dasarnya yang paling menyebalkan adalah orang yang nggak punya komitmen. Gue juga sadar nggak semua punya komitemen di sini. Karena ini hobi, ya, buat beberapa orang. Nggak semua paham bahwa hobi ini bisa menghidupi. Ketika memutuskan untuk fokus di musik, sebenernya bisa, kok. Persoalannya adalah lo harus kerja keras.

Scene musik selalu ada eranya. Di Jakarta, misalnya, dulu yang rame adalah gigs BB's. Lalu berhenti. Terus muncul gigs di Parc, stop juga. Ruang untuk musik ini nggak pernah tetap. Gimana lo ngeliatnya?

Gigs pindah-pindah karena ada tantangan lain. Karena ruang adalah elemen penting dalam musik. Scene musik indie nggak banyak uangnya (bagi penyedia tempat). Mereka pindah-pindah karena mengakali ruang.

Gigs di BB's ada pada masa itu. Sekarang misalnya, adanya Superbad. Dia memanfaatkan hari Minggu di barnya karena sekarang ini udah sedikit orang yang ke bar hari Minggu. Ini adalah upaya menciptakan. Gue percaya kalau pasar bisa diciptakan, seperti yang dibilang Efek Rumah Kaca. Keras Keras itu bisa menciptakan pasar.

Ruang adalah salah satu challenge yang terus-terusan ada. Gudang Sarinah itu adalah perlawanan kami di ruangrupa demi kebutuhan ruang. Semua kota butuh ruang di mana lo bisa main musik dengan sederhana tanpa mikirin sewanya. Ruang itu penting, sebagai wadah. Kayak lo masak dan lo butuh penggorengan. Bahkan untuk rekaman aja lo butuh ruang, kan. Dan nggak semua orang punya kemampuan membuat semuanya sehat dari segi ekonomi.

Contoh Yogi dari Coffee War. Dia tetap support band lokal, dia beli alat karena percaya dia bisa ngasih kontribusi untuk musik.

Kalau lo cuma mendengarkann tanpa ngeliat bandnya live, kan, nggak enak.

Apa yang bisa dilakukan kita, buat jadi penikmat musik sidestream yang baik?

Editor : Rizki Ramadan

Baca Lainnya

Latest