Follow Us

Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 2

Alvin Bahar - Kamis, 29 September 2016 | 12:30
Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 2
Alvin Bahar

Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 2

Handuk warna biru yang menggantung di atas palang timba sumur kuraih cepat. Dengan cekatan aku mengeringkan sisa-sisa butiran air yang masih melekat di tubuh. Kemudian kubebatkan handuk diatas pinggang sambil melangkah kecil menuju ruang makan.

“Bu, Mpa kemana ?’’ begitu aku memanggil Ayah. Tanganku menyomot tempe goreng yang menggoda untuk dicicipi. Dicocol ke dalam lumuran kecap yang ditaburi cabe rawit, tempe garing itu sangat lezat dimulut. Tapi kenyataannya tak demikian. Yang ada bibirku malah melepuh. Makanan berbahan kedelai itu ternyata masih panas. Baru diangkat dari penggorengan. Si ibu tertawa sedikit, seolah menyumpahiku dan mengucap rasa syukur karena aku mendapat ganjarannya. Ketulah buat orang yang tak sabar.

“Hushh…, pakai baju dulu !” Ibu mengumpat, “ Mpa sehabis subuh pergi ke Pandeglang, ada urusan.” terangnya dengan singkat.

“Siap..!” kali ini hormatku lebih gagah. Lalu putar balik, melengos ke kamar yang telah mengantarkanku mimpi indah semalam.

Mpa dikenal sebagai ayah yang rajin. Ia selalu memulainya dengan aktifitas bermanfaat. Bekerja mendahului matahari terbit. Buatnya, kalau sudah melakukan sesuat hal sebelum subuh adalah termasuk ke dalam kategori pemenang. Ya, kegigihan menjadi sesuatu yang melekat pada seorang ayah, Sukra Prawira Sentana. Seorang PNS pada Badan Pelaksana Pengairan di Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. Kutu buku yang disegani masyarakat itu juga dikenal sebagai tokoh pimpinan buruh seantero Banten. Bagi masyarakat, Mpa didaulat sebagai dewa penolong. Selalu hadir dan pasti berada di garda paling depan jika masyarakat sedang menghadapi suatu masalah. Sosoknya tegap, agak gemuk, dan berambut putih. Hobinya yang unik, Mpa selalu berpose menggunakan jas dan sepatu pantopel. Laiknya berpakaian ala pejabat Belanda saja. Senang berpolitik dan sering mendengarkan radio dua band pada saat santai.

***

Kupilih kaos putih dari lemari untuk dikenakan hari ini. Kemudian saat aku merapihkan rambut dengan sisir plastik, aku teringat akan janji hari ini. Salah satu teman sekelasku di SMA Negeri 1 Serang mengajak untuk bersepeda ke Pantai Anyer. Aku arahkan wajahku dekat sisi pintu. Mengintip dari balik kain penutup pintu kamar ke arah ruang tamu. Disana, sepedaku masih bersandar di belakang kursi, merapat dekat pintu kaca yang sudah sedikit retak. Ada kenangan yang sangat mengesankan kalau mau bicara sepeda mini merah muda itu. Aku mendapatkannya dengan jerih payah berjualan. Usaha itu aku lakukan saat duduk di bangku Sekolah Dasar.

Seyogyanya anak-anak diumur itu, rata-rata semuanya punya hobi bermain layangan atau lebih senang bermain bola. Aku, Fauna malah menggadaikan waktu senang-senangnya dengan berjualan Es Mambo. Makanan beku itu biasa aku ambil dari tetangga yang nasib ekonominya jauh lebih baik dari keluargaku. Sang tuan es Mambo kebetulan memiliki kulkas yang memang digunakan untuk usahanya. Aku dan sang tuan memegang janji. Sepakat untuk bagi hasil dari bisnis kecil-kecilan ini. Dari setiap keuntungan penjualan es, aku akan mendapatkan 20 persen. Sebuah prosentasi yang buat kedua belah pihak sudah terbilang adil. Kesepakatanpun diazamkan tanpa secarik kertas. Hanya keluar dari lisan dari dua orang beda generasi saja yang disandarkan oleh rasa saling percaya.

Kala itu, termos berisi es Mambo selalu kubawa ke pasar utama, dekat Stasiun Kereta Api Serang. Tanpa lelah menawarkan jajanan kepada semua orang yang lalu lalang. Tak hanya berkutat di lorong-lorong pasar, bahkan aku juga harus susah payah masuk ke gerbong-gerbong kereta. Ikut hingga ke stasiun berikutnya, lalu kembali lagi ke stasiun awal. Semua itu aku lakukan demi asa yang sebelumnya aku tanamkan. Mendapat uang jajan lebih yang bisa ditabung. Tak pernah terbersit rasa minder, apalagi malu berkepanjangan. Yang ada hanyalah niat memuncak agar bisa mendapatkan sepeda dari hasil mengumpulkan uang.

Lama memang aku mesti bersabar. Tak ada kata sia-sia. Kata Mpa, kalo kita mau berusaha tanpa berkeluh kesah pada akhirnya nanti akan berbuah manis. Benar, ujungnya ternyata manis. Perkataan Mpa aku buktikan sendiri.

Aku terduduk sebentar di kasur. Mengingat memori sejenak, lalu tak lama beranjak segera pergi ke dapur. Aku mencari kenangan yang pernah aku lakukan semasa kecil. Aku arahkan pandanganku ke sebelah kanan dekat bejana besar berwarna cokelat. Persis dibaliknya nampak masih ada bongkahan tembok yang menganga. Aku geser sedikit bejana itu dan terlihat kenangan masa silam. Tembok rahasia yang menyimpan banyak harapan. Ya, sewaktu kecil, disitulah tempat aku menaruh uang. Hasil jerih payah menjajakan es selama 4 tahun. Hingga pada akhirnya dari hasil tabunganku bisa digunakan untuk membeli sepeda.

Tapi, sebenarnya tak sepenuhnya dari hasil tabunganku. Untungnyu ibu sangat baik. Ia menambahkan sedikit agar putranya bisa memiliki kereta angin kesayangannya. Bukan sepeda baru yang dibeli. Melainkan sepeda bekas yang diperoleh dari bengkel Pak Memed.

Editor : Hai

Baca Lainnya

PROMOTED CONTENT

Latest