“Mam Sari, tadi ada alumni yang pengen ke Jerman. Sudah bertemu?” tanya Bu Rita Hastuti, kepala sekolah SMAN 78.
“Oh tadi, sudah, Bu. Tadi dia minta bantu uru surat,” jawab Bu Sari.
Percapakan itu terjadi pada sebuah pagi, hari pertama tahun ajaran 2016/2017. Nggak sedikit alumni yang masih wara-wiri di sekolah saat itu. Di antaranya adalah untuk mengurus kelanjutan kuliahnya.
Omongan tentang kuliah ke luar negeri terasa begitu biasa di sekolah unggulan Jakarta Barat ini. Sudah sejak awal masuk sekolah, tiap murid diberi arahan tentang perkuliahan di luar negeri.
Tugas utama bu Sri Ardhani Titisari atau biasa dipanggil mam Sari di sekolah adalah mengajar Bahasa inggris. Namun, perannya sebagai guru nggak berhenti di situ. Ia juga mengurusi divisi international affairs. Sebuah divisi yang sengaja dibentuk sang kepala sekolah sejak tiga tahun lalu untuk membantu murid-murid mempersiapkan kuliah ke luar negeri. Asyik, kan?
“Sejak sistem RSBI dihapus, kami tetap memelihara ‘rasa’ internasionalnya. Selain kurikulum Cambridge yang kami pakai sebagai pengayaan, kami juga membentuk divisi international affair ini,” cerita Bu Rita.
"Gunanya divisi ini adalah untuk menjembatani murid untuk kuliah ke luar negeri, ke negara mana pun,” tambah Bu Sari. Selain Bu Sari, tim ini terdiri dari empat guru, yaitu seorang guru bahasa Inggris lain, guru BK, dan dua guru lain yang sudah akrab dengan isu luar negeri.
Caranya kerjanya begini, pertama, tim secara berkala meminta siswa untuk mengisi formulir untuk mendata siswa-siswa mana yang punya keinginan untuk kuliah ke luar negeri.
“Kami akan carikan kampus di negara yang diinginkannya, yang menyediakan jurusan minatnya. Kalau jurusan berubah pun nggak apa-apa. Misalnya di kelas X pengen ke Arsitektur, tapi pas kelas XI pengen ke Animasi. Nggak apa-apa,” kata Bu Sari.
Cara tim mencarikan kampus nggak sekedar dari internet. Bu Sari dan timnya rajin menjalin relasi dengan kedutaan-kedutaan besar negara yang ada di Jakarta. Tiap kali ada kesempatan bertemu dengan pihak kedubes atau kampus luar negeri, Bu Sari menanyakan kampus apa sajakah yang punya program beasiswa.
“Saya bilang ke mereka, ‘di negaramu ada kampus apa saja, ada murid saya yang pengin kuliah ke negaramu. Apa yang bisa kamu berikan untuk mereka?’, “ cerita perempuan berkaca mata itu.
Pihak sekolah pun rajin menggelar edufair internal untuk murid. Mitra sekolah, entah itu kedubes, atau pun perwakilan kampus luar negeri yang ada di sini, diundang untuk mengisi acara. Tapi, nggak boleh kalau cuma memberi presentasi. “Mereka harus bikin workshop. Jadi, bukan cuma ngasih iming-iming saja.”