Gaya Ospek 1996 emang udah lewat, tapi buat yang penasaran sama pro kontra perpeloncoan pada masa pimpinan Soeharto, ini nih masa Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) di masa lalu. Banyak dipuji, lebih banyak lagi ditentang dan dicaci!
Pelonco bukanlah tradisi ilmuwan. Kegiatan Ospek (orientasi studi dan pengenalan kampus)yang masih berbau perpeloncoan, secara ilmiah tidak akan menghasilkan disiplin ilmiah yang baik. Kegiatan semacam perpeloncoan yang dimaksudkan untuk menanamkan disiplin itu hanya merupakan pemaksaan sesaat yang hanya menghasilkan rasa takut dan taat pada perintah.
Itu tadi bukan pendapat orang awam, melainkan dari Dr. Budiono Santoso PhD,DSFK. la tak lain Sekretaris Jenderal Akademi llmu Pengetahuan Yogyakarta (Yogyakarta Academy of Sciences). Pendapat Pak Budiono itu dimuat dalam harian Kompas edisi 13 Januari silam.
Memang, sejumlah pendapat bermunculan belakangan ini, menyusul kematian Zaki Tiffani Lasuardian, mahasiswa FMIPA Institut Teknologi Bandung (ITB). Kematian Zaki memang belum jelas benar, apakah sebagai akibat langsung dari keikutsertaannya pada kegiatan Ospek atau bukan. Akan tetapi, kematian itu akhirnya seperti sulit dilepaskan dari kegiatan itu, setidaknya oleh sorotan masyarakat umum.
Kejadian itu menjadi lebih gempar, karena baru setahun yang lalu, seorang mahasiswa Jurusan Fisika Universitas Indonesia, meninggal dunia pula. Amirullah, mahasiswa itu, meninggal setelah mengikuti OPT (Orientasi PerguruanTinggi) di Kampus UI.
Sementara di ITB sendiri, selain seorang meninggal, ada tiga mahasiswa lain yang harus opname. Lalu, sedikitnya 176 mahasiswa lain berobat ke poliklinik. Keluhan mereka umumnya flu, badan demam, lecet, dan ada juga yang tidak sanggup berjalan.
Sebenarnya, pro-kontra soal perpeloncoan bukan sekali ini muncul ke permukaan. Bahkan otoritas kampus pernah menjatuhkan keputusan untuk melarang kegiatan tersebut. Mapram alias Masa Orientasi Mahasiswa lalu berganti dengan masa penataran P4. Depdikbud sendiri dengan keras melarang kegiatan yang mengarah ke bentuk perpeloncoan melalui Surat Ecfaran Direktur Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Tinggi No.l5,Juni l995.
Toh di lingkungan jurusan, kegiatan pengenalan kampus yang disertai 'kekerasan fisik', masih muncul. Dan dengan mudah, orang lalu menuding: perpeloncoan di kampus ternyata masih ada. Sebuah surat pembaca, dengan getir, lalu bicara: perpeloncoan di kampus itu sungguh ironis, karena dilakukan di tengah perjuangan hak asasi manusia yang sedang mendunia saat ini. Bahkan itu berjalan di lingkungan akademik, yang kerap dengan lantang menyuarakan demokratisasi dan hak asasi.
Ospek itu Sebenarnya Bagus
Betulkah Ospek memang mendorong orang berbuat semena-mena? Dra. Seiwitri Supardi, psikolog dan dosen di Fakultas Psikologi Unpad, mengemukakan, pada dasarnya Ospek itu bagus. Di dalamnya ada unsure pengenalan kampus, kurikulum, dan pengenalan mahasiswa baru dengan mahasiswa lama.
"lde dasarnya bagus. Cuma, masalahnya, dan ini selalu terjadi di setiap organisasi yang menyertakan massa, akan terjadi yang namanya ekses. Apalagi kalau misalnya ada kelompok panitia dan yang bukan panitia. Saya sering melihat, yang bukan panitia selalu keluar dari jalur. Memanfaatkan posisi dia sebagai,senior untuk melampiaskan segala macam perasaannya pada mahasiswa baru," kata Ibu Sawitri. Baca: OspekKuliah Jadi Novel Indah
Balas Dendam itu Sakit Jiwa
Masih menurut Sawitri, ada permasalahan yang dirasakan kelompok mahasiswa tertentu dan mereka yang membutuhkan ruang pelampiasan. Mereka(oknum) itu yang lalu melampiaskannya ke mahasiswa-mahasiswa baru.
"Posisi dia di situ, memiliki otoritas (kekuasaan). Itu 'hanya kelompok kecil, tapi efeknya besar," jelas Ibu Sawitri.
Mantan Ketua Jurusan Psikologi Klinis Unpad ini juga menegaskan bahwa suasana balas dendam dalam Ospek terjadi karena tindakan kekerasan yang dilakukan para senior.
"Peserta yang dikerasi, akan mengembangkan rasa dendam yang tak habis-habisnya. Di samping itu, akan menimbulkan gangguan kejiwaan," kata Ibu Sawitri.
Gangguan kejiwaan itu bisa saja muncul karena perasaan tertekan. Itu dapat berakibat stress mental yang terus berlanjut.
"Bukan karena Ospeknya, tapi mungkin sudah ada bawaan dari peserta itu sendiri. Hanya saja perlakuan dalam Ospek akan menjadi pencetus. Apalagi Ospek itu berbentuk perlakuan fisik dan mental," tambah Ibu Sawitri.