HAI-ONLINE.COM - Sejak beralih ke digital, cerpen dan komik memang udah lama nggak nongol di HAI. Namun bukan berarti dilupakan.
Banyak yang bilang bahwa cerpen Hai beda dengan kebanyakan cerpen atau serial di majalah cewek.
Memang. Hai punya tradisi menampilkan cerita yang beda sejak awal terbit. Serial Imung serta Kiki dan Komplotannya pasti dikenang oleh bonyok kita.
Lalu serial Lupus, Balada Si Roy, dan Keluarga Mama Alin, selama bertahun-tahun jadi sesuatu yang dinanti. Bukan cuma menjadi sekadar serial. Kiki dan Komplotannya pernah jadi serial teve.
Lupus, malah diangkat ke layar lebar. Hai juga punya tradisi komik sejak awal terbit. Dari Storm, Trigan, Arad-Maya, Rambut Merah, sampai strip Coki si Pelukis Cepat.
Hai juga mengangkat nama komikus Jan Mintaraga dan Teguh Santosa ke ranking teratas komikus dalam negeri yang paling disukai. Mereka pernah ngomik juga di Hai. Balik lagi ke Lupus
Membahas cerpen HAI, lupus nggak boleh ketinggalan. Ketika pertama kali nama Lupus muncul di HAI di tahun 1986 (Majalah Hai 17/X, saat itu berbentuk bonus novelet-Red), ada warna segar yang ditawarkan oleh Hilman sebagai pengarang.
Lewat keempat cerpennya itu (Tangkaplah Daku, Kau Kujitak!, Kencan Pertama, Prestise Jazz, Play Boy Duren Tiga), ia mencoba meramu cerita kehidupan remaja dengan kocak dan jenaka.
Layaknya barang baru, tentu masih terasa asing. Baru ketika Hai menggebernya setiap minggu kehadiran Lupus, Boim, Gusur, Anto, Lulu dan lain-lainnya makin terasa. Semua tokoh yang ditampilkan unik dan nyentrik.
Secara fisik, Lupus bukanlah gambaran seorang jagoan. Badannya kurus kerempeng, nggak bisa berkelahi. Kalau mau jujur, Lupus juga bukanlah gambaran murid sekolah yang encer otaknya.
Tapi untuk urusan jahil, otaknya bakal bekerja cepat. Super cepat, malah.
Namun anehnya, sosok Lupus justru sangat digemari. Itu bisa dilihat dari meledaknya kumpulan cerpen Lupus yang sudah dibukukan. Per 1995 saja, sudah 13 buku kumpulan cerpen seri Lupus yang diterbitkan.
Setiap bukunya selalu 'laris dengan sukses'. Semakin jauh, ada sinetron dan filmnya juga.
Baca Juga: Pengarang Novel Lupus, Hilman Hariwijaya Meninggal Dunia
PENGARANG JELI
Kejelian pengarang menangkap tren yang ada di kehidupan remaja pada masanya patut diacungi jempol. Dari mulai gaya dandan hingga bertutur kata. Dengan lincah Hilman menuliskan semuanya itu dalam cerita-cerita Lupus.
Gaya bahasa slengean yang memang milik remaja, dimasukkan sebagai cara bertutur dalam cerita. Membaca pun jadi enak. Cerita jadi mengalir dengan lancar.
Coba tengok kosa kata yang ada dalam cerita-ceritanya. Kata "kepala" disingkat jadi "pala". Ada lagi, "nyulik", "ngegosip", "liatin" dan banyak lagi.
Toh, hal itu nggak terasa janggal. Justru, pembaca jadi lebih dekat dengan tokoh dan cerita itu sendiri.
Senjata lain dari cerita Lupus adalah kekonyolan tokoh- tokoh cerita. Untuk yang satu ini, Hilman benar-benar membuktikan dirinya sebagai pakar ngocol. Pengarang bagai sumber kekonyolan yang nggak pernah kering.
Ada saja banyolan dan ulah tokoh yang membuat pembaca tertawa. Seperti dalam buku Makhluk Manis dalam Bis (Juni 1987) pada cerita Sepeda Balap. Suatu ketika ada seorang Jelaki setengah baya bertanya kepada Lupus di mana letak jalan Kepiting Rebus.
Dengan enaknya Lupus menjawab, "Ya cari dulu dong. Kalau nggak ketemu, baru boleh tanya!" sahut Lupus sambil menutup pintu.
"Hei, Pak. Kalau sudah ketemu, bilang-bilang ke sini, ya? Barangkali aja kapan-kapan sayajuga butuh alamat itu."(halaman 66).
Memang kalau dipikir-pikir hal itu mustahil terjadi dalam kehidupan nyata. Tapi ingat, cerita Lupus adalah rekaan semata. Dan ini dimanfaatkan banget oleh Hilman.
Dengan lincahnya ia berkhayal, dan pembaca dengan setia menyimaknya. Sosok Lupus cs sebagai anak sekolahan, memudahkan Hilman untuk bertutur.
Sebagai remaja, mereka adalah sosok-sosok yang sedang berkembang jiwanya. Dengan demikian, banyak hai yang bisa ditampilkan dalam cerita. Mulai musik, pergaulan, tren, hingga masalah memburu cewek. Hingga suatu ketika, seiring dengan berlalunya waktu, Lupus sudah duduk di kelas III SMA. Hilman mau nggak mau harus membawa Lupus ke lingkungan kampus.
Itu terjadi pada buku kesembilannya yang berjudul Idiiih, Udah Gede (Desember 1990), di mana Lupus resmi jadi mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Cafetariasakti. Lupus sudah gede sekarang.
SOSOK UNIK
Sebagai mahasiswa, Lupus tentu harus digambarkan yang lain, sesuai dengan predikatnya sebagai mahasiswa. Lupus cs, kecuali Gusur yang nggak lulus, nggak bisa ngocol lagi.
Untuk kehidupan mahasiswa, bolos pada jam kuliah bukanlah sesuatu yang mengasyikkan lagi. Berbuat jahil kepada dosen yang lagi mengajar, nggak mungkin dilakukan Lupus cs seperti saat mereka belajar di bangku sekolah.
Jelas, gerak Lupus, Boim, Anto, jadi nggak bebas. Kehidupan mahasiswa jauh berbeda dengan SMA. Padahal, senjata utama mereka adalah kekonyolan dan sifat mereka yang cuek dengan segala sesuatu yang nggak menguntungkan mereka. Kecuali urusan cewek.
Di situ terlihat Hilman kayaknya menghadapi dilema. Mau melanjutkan Lupus di kampus, berarti sosok Lupus cs harus berubah. Untuk mengulang kehidupan di SMA Merah Putih, mereka sudah terlanjur diluluskan.
Hilman perlu waktu dua tahun untuk mengambil keputusan. Praktis sejak tahun 1990 ketika buku Idiiih, Udah Gede diluncurkan, Lupus menghilang.
Untuk sementara Hilman disibukkan menggarap Lupus Kecil bareng Boim. Padahal setiap tahun, dari 1986 hingga 1990, buku baru Lupus diterbitkan.
Malah di tahun 1987, ada tiga buku baru dan dua buku di tahun 1988.
Akhirnya pada bulan Maret 1992, Lupus kembali dimunculkan. Hilman kembali menampilkan anak-anak SMA Merah Putih.
Buku itu berjudul, Drakuli Kuper (Ih, Syereeem! Part 2) di bulan Maret 1992.
Kali ini Lupus cs. ditampilkan sebagai murid kelas 2. Alasannya, banyak cerita lucu yang belum sempat diceritakan.
Hal itu berlanjut pada kedua buku barunya, Lupus 'n Work (Maret 1994) dan Interview gampang kita sebut saja sebagai Lupus baru.
Tapi sebenarnya buku tersebut nggak bisa dibilang karya baru dari Hilman. Sebab isinya adalah kumpulan cerpen yang pernah ditampilkan pada buku-buku sebelumnya.
Hanya saja, tren yang ada pada Lupus baru disesuaikan dengan tren pada tahun rilis.
Kalau dulu trennya Duran-Duran, sekarang sudah diganti dengan grunge. Dan kayaknya hal itu akur-akur aja bagi pembaca. Sebab di benak masing-masing pembaca, sudah tergambar sosok tokoh-tokoh cerita Lupus.
Lupus adalah cowok ceking yang doyan makan permen karet dan jahil kepada setiap orang. Gusur si seniman sableng yang jorok, dan Boim si playboy Duren Tiga yang sok ganteng. Setiap pembaca bisa berbeda konsepnya, tergantung imajinasi mereka sendiri. Makanya, ketika Lupus ditampilkan dalam bentuk nyata (film atau sinetron), para penggemar kalang kabut.
Mereka kehilangan sosok idola mereka. Sosok Ryan Hidayat, Migdad Addausy, atau Irgi Fahrezi yang memerankan Lupus, jadi membatasi imajinasi tokoh itu sendiri.
Walau pun Lupus nggak berwujud, kehadirannya terasa banget saat pembaca membaca kata demi kata dalam cerita. Ketika Lupus "dihidupkan", mereka kehilangan rasa itu. Mereka nggak merasakan kehadirannya.
Namun "nyebrang"-nya Lupus ke format lain, bahkan hingga belasan tahun setelah terbit, adalah bukti gimana karya Hilman adalah sebuah masterpiece yang selalu punya tempat di hati para penggemarnya.
Kini sang kreator, Hilman Hariwijaya telah tiada, tetapi Lupus dan segala hal ikoniknya akan terus terkenang di hati pecintanya. Selamat jalan, Hilman. Long Live Lupus.