HAI-Online.com - Sebuah SMA Negeri di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta sempat viral karena ada seorang siswi yang melapor kalau dirinya dipaksa untuk memakai jilbab.
Yang membuat publik tercengang yakni sosok siswi tersebut melapor dirinya mengalami depresi akibat hal tersebut.
Perdebatan soal jilbab di sekolah negeri ini bukan hal yang baru, beberapa tahun lalu, perdebatan serupa juga muncul di Yogyakarta, Banyuwangi, Jakarta, dan beberapa wilayah di Indonesia.
Dari hasil semua perdebatan, selalu berujung ungkapan permohonan maaf pihak sekolah negeri atau pencabutan aturan (surat edaran) terkait keharusan penggunaan jilbab.
Ramainya kasus ini menarik perhatian Dosen asal Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Radius Setiyawan.
Menurutnya, hal ini menarik lantaran selalu ada usaha untuk mewajibkan penggunaan jilbab di sebuah institusi pendidikan yang lagi-lagi menuai perdebatan.
Baca Juga: Lagi, Seorang Siswi SMA Negeri Diduga Dipaksa Pakai Hijab di Sekolah, Kini Mengurung Diri & Depresi
“Sekolah negeri sebagai arena bertemunya etnis, ras, dan agama (terutama di sekolah negeri) kerap kali menjadi arena pertarungan identitas. Perdebatan kerap hadir dipicu oleh usaha memaksakan penggunaan jilbab untuk siswi yang merasa tidak menjadi bagian dari identitas tersebut,” jelas Radius dikutip dari laman UM Surabaya, Selasa (2/8/2022).
Dalam keterangan tertulis, Radius menjelaskan, konteks ini negara nggak perlu hadir, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu memastikan nggak ada paksaan dalam penggunaan atribut tertentu.
“Negara perlu memastikan hal tersebut karena sekolah sejatinya adalah ruang yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,” imbuh pengajar mata kuliah Cultural Studies ini.
Menurutnya, pemimpin daerah kerap kali nggak berdaya menghadapai hal tersebut, dan yang menjadi pertimbangan adalah politik yang menjadi faktor terbesar.
Radius mencontohkan soal usaha kepala daerah memperoleh simpati publik atas warga mayoritas adalah strategi populis yang kerap kali terjadi, sehingga nggak heran banyak kepala daerah bersikap ambigu atas kebijakan tersebut.
Radius menegaskan sekolah harus mengedepankan moral intelektual. Memastikan nggak ada pemaksaan soal tersebut menjadi penting.
“Tentunya hal tersebut juga berlaku bagi siswa yang ingin menggunakan jilbab di mayoritas yang nggak menggunakan jilbab. Negara harus memastikan juga nggak ada larangan tersebut,” pungkasnya. (*)