HAI-ONLINE.COM - Sepertinya ada tren kalo udah nggak di major label, saatnya bikin musik yang lebih "nyeni".
Kalo Isyana Sarasvati kelar dari Sony Music bereksperimen dengan progressive metal, Ardhito Pramono (kebetulan sama-sama cabutan Sony Music nih) memilih bermain-main di ranah pop Indonesia lama.
Wijayakusuma judul albumnya. Semua berawal dari obrolan, plus kritikan, Oom Leo karena karya Ardhito yang nggak berasa Indonesia.
Bukan pula karena Oom Leo ngomong gitu Ardhito mau ngebuktiin kemampuan. Dirinya juga punya misi tersendiri.
“Gue melihat banyak sekali dampak kurang baik dari karya gue selama ini yang menggunakan bahasa Inggris,” ungkap Ardhito.
“Misalnya, teman-teman musisi baru yang akhirnya ikut memilih menggunakan bahasa Inggris dalam karyanya. Gue tidak ingin bahasa kita lenyap digantikan oleh bahasa asing dalam sebuah pengkaryaan,” katanya.
Ardhito menulis lirik-liriknya dengan padanan aksara Indonesia yang beragam. Single pertamanya, berjudul sama dengan nama album, memuat pilihan kata yang jarang digunakan, dipadu dengan bahasa Jawa yang dinyanyikan oleh pelaku macapat bernama Peni Candra Rini.
Ada pula padanan yang tersusun cukup gamblang seperti “Berdikari” maupun “Rasa- rasanya”, hingga yang dibalut ambiguitas pada “Daun Surgawi” juga “Asmara”. Ardhito bereksplorasi dalam bercerita tanpa mengaburkan kisah lagunya.
Mendengarkan album ini lumayan seru. Meski kalo boleh jujur banyak momen yang bikin inget (dan ngebandingin) dengan Fariz RM, Candra Darusman, dan musisi-musisi sejenis.
Arah musikal terbaru Ardhito memberikannya tenaga baru buat semakin bersaing di industri musik.