Para praktisi sokushinbutsu nggak melihat praktik ini sebagai tindakan bunuh diri, melainkan sebagai bentuk pencerahan lebih lanjut.
Dalam buku Living Buddhas: The Self-Mummified Monks of Yamagata, Japan, Ken Jeremiah menunjukkan bahwa banyak agama yang memandang mayat yang tetap utuh sebagai tanda keanggunan khusus atau kemampuan supernatural.
Baca Juga: Cerita Ninja Terakhir Jepang Soal Cara Berlatih, Mulai dari Menatap Lilin sampai Memanjat Dinding
Proses mumifikasi diri dalam sokushinbutsu
Asal kalian tahu, langkah-langkah dalam membuat tubuh sendiri menjadi mumi dalam sokushinbutsu ini sangat keras dan menyakitkan.
Selama 1.000 hari pertama, para biksu berhenti makan kecuali kacang-kacangan, biji-bijian, buah-buahan, dan beri-berian. Selain itu, mereka juga melakukan aktivitas fisik yang ekstensif untuk menghilangkan semua lemak tubuh.
Selama seribu hari berikutnya, mereka hanya makan kulit kayu dan akar. Menjelang akhir periode ini, mereka akan meminum teh beracun yang terbuat dari getah pohon Urushi, yang menyebabkan mereka muntah dan kehilangan cairan tubuh dengan cepat.
Itu juga bertindak sebagai pengawet dan membunuh belatung dan bakteri yang akan menyebabkan tubuh membusuk setelah kematian.
Pada tahap akhir, setelah lebih dari enam tahun persiapan yang menyiksa, para biksu akan mengunci dirinya di dalam kuburan batu yang ukurannya hampir nggak lebih besar dari tubuhnya. Masing-masing mereka masuk ke sana dalam keadaan meditasi.
Mereka duduk dalam posisi lotus, posisi yang nggak akan dipindahkan sampai mereka meninggal. Sebuah tabung udara kecil memberikan oksigen ke makam.
Baca Juga: Rahasia Berperang Samurai Jepang Terungkap di Sebuah Teks Kuno Berusia 500 Tahun. Seperti Apa?
Setiap hari, para biksu itu membunyikan bel untuk memberi tahu dunia luar bahwa mereka masih hidup. Ketika bel berhenti berdering, tabung itu dilepas dan kuburan disegel selama periode seribu hari terakhir dari ritual tersebut.