Lagu yang dicekal di masa awal Orde Baru adalah lagu Genjer-Genjer. Lagu ini sebenarnya bercerita tentang penderitan rakyat yang kekurangan pangan sampai-sampai tanaman liar genjer-genjer jadi makanan sehari-hari. Namun, Hai kutip dari Wikipedia, di masa Demokrasi Terpimpin, Partai Komunis Indonesia (PKI) sering menggunakan lagu ini saat kampanye. Di tahun 1965 lagu ini pun dilarang, TNI saat itu beranggapan bahwa Genjer-genjer dinyanyikan saat Gerwani dan Pemuda Rakyat menyiksa jenderal. Lagu ini terus dilarang sampai Orde Baru kelar.
Pemerintah saat itu juga mengawasi ketat isi lirik dari para musisi. Kalau ada yang menyinggung pemerintah, maka sang musisi akan dipanggil. Lagu Tante Sun milik Bimbo misalnya, nggak boleh tayang di TVRI karena dianggap sebagai sindiran gaya hidup istri pejabat. Begitu pula dengan lagu Pak Tua dari band Elpamas. Banyak yang menduga, lagu tersebut ditujukan untuk presiden Soeharto. Liriknya emang nyerempet, sih, ceritanya tentang seorang pengusaha yang udah tua tapi ogah pensiun.
Aturan yang nggak kalah menghebohkan juga keluar dari Menteri Penerangan Orde Baru, Harmoko. Beliau nggak suka dengan lagu-lagu bernuansa cengeng dan mendayu-dayu. “Stop lagu-lagu semacam itu,” katanya pada perayaan ultah TVRI ke-26, 24 Agustus 1988.
Lagu-lagu cengeng tersebut dianggap nggak sejalan dengan semangat pembangunan. Bisa menghambat kemajuan pembangunan.
Nah, coba deh lo bayangkan gimana jadinya kalau RUU Permusikan itu jadi disahkan? Coba baca baik-baik lagi Pasal 5. Musik yang dianggap ngebawa budaya barat negatif, merendahkan harkat martabat, mengandung pornografi, menistakan agama serta mengandung pesan provokatif, akan diatur. Kebijakan yang dianggap pasal karet ini meresahkan musisi karena berpotensi membatasi karya mereka.
Selamat Hari Musik Nasional 2019 dulu ah. Semoga musik Indonesia semakin beragam, bebas diskriminasi, dan selalu berkembang. (*)