Bukan hanya masa pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir yang menyebabkan siswa dari keluarga miskin berhenti sekolah, namun lebih dari itu, dengan alasan ekonomi ada remaja yang tidak belajar hingga 4 tahun lamanya.
Kompas, baru-baru ini melaporkan, anak dan remajadi daerah-daerah hingga Senin (28/2/2022), sebagiannya putus sekolah karena persoalan kemiskinan.
Mereka bahkan ada yang terpaksa merantau dan bekerja di usia anak-anak demi membantu ekonomi keluarga sehingga tidak lagi bisa bersekolah.
Kepala Pusdatin Kemendikbudristek M Hasan Chabibie mengatakan, tata kelola data kependidikan dibenahi dan terintegrasi dengan data induk kependudukan, kemiskinan, dan kesehatan.
Kini, data anak putus sekolah sudah bisa diketahui hingga ke nama, alamat siswa, serta alasan putus sekolah. Namun, validitas data masih harus ditingkatkan melalui peran satuan pendidikan untuk aktif membarui data siswa sesuai kenyataan di lapangan.
Dengan data yang semakin terintegrasi, pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan kota, serta pemangku kepentingan pendidikan lainnya dapat membuat program tepat sasaran sesuai data yang semakin baik untuk memastikan anak usia sekolah mendapatkan akses pendidikan.
"Siswa putus sekolah hanya salah satu dari masalah anak tidak sekolah (ATS) yang didata. Selain itu, ada data siswa lulus tapi tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya dan anak yang belum pernah sekolah,” kata Hasan.
Di pesisir Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, ARS (16), tidak sempat tamat dari kelas VI SD. Remaja yang tinggal di Desa Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan, bersama neneknya ini, sesekali ia bekerja serabutan menjadi pekerja di tempat mencuci sepeda motor atau membantu panen di kebun jagung.
ARS sudah 4 tahun lebih tidak mengenyam pendidikan formal, ia malahsering berkumpul hingga larut malam bersama teman-temannya yang lebih tua serta bermain gawainya.
"Waktu itu aku sudah hampir lulus, tetapi akhirnya putus sekolah karena nenek yang menyekolahkanku tidak ada uang,” kata ARS yang ditinggal ayah dan ibunya yang cerai.
Di Nusa Tenggara Timur, RO (13), salah satu siswa SMP di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur juga mengalami putus sekolah di kelas II SMP.
Semangatnya bersekolah semakin luntur akibat pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi sejak tahun 2020 yang tidak dapat diikutinya dengan baik karen alasan teknis dan fasilitas smartphone.
"Sekolah jarak jauh, tapi tidak ada HP. Kami jarang ke sekolah, guru-guru juga jarang datang, tapi kami bayar uang iuran terus. Kami bayar, tapi kami tidak dapat ilmu,” kata RO dengan nada kesal.
Putus sekolah juga dialami FD (12) yang kini menjadi penjual kantong plastik di Pasar Naikoten. Bocah FD datang dari Soe, Timor Tengah Selatan. Ia diminta ikut mencari uang lantaran ibunya kesulitan menghidupi keluarga.
Ayahnya FD kini bekerja di salah satu perusahaan kelapa sawit di Malaysia. Namun, hampir satu tahun ayah FD tidak mengirim uang untuk mereka.
"Kami anak-anak ada tujuh. Saya anak ketiga. Kakak-kakak saya juga putus sekolah,” ujar FD.
Dari LitbangKompaspada 10-13 Februari 2022, dalam dua tahun terakhir di masa pandemi Covid-19, ada responden yang menyatakan anak/saudara/tetangga yang putus sekolah di jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK sederajat.
Di Pulau Jawa, kasus putus sekolah sudah terjadi sejak SD dan SMP, dan di luar Pulau Jawa jumlahnya lebih tinggi di SD dan SMP.Dari data Pusdatin Kemendikbudristek juga terlihat jumlah anak putus sekolah terbanyak di SD dan SMP. Bahkan untuk SMP di akhir tahun 2021 jumlahnya meningkat.
Lebih dari 70 persen putus sekolah terjadi karena alasan ekonomi, yakni orangtua tidak bekerja atau anak harus membantu orangtua bekerja.
Pada akhir tahun 2021, Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat, ada 38.116 siswa SD dan 15.042 siswa SMP putus sekolah.
Dari data ini, untuk jenjang wajib belajar SD-SMP terindikasi 53.758 siswa putus sekolah. Adapun, di jenjang SMA dan SMK sebanyak 22.085 siswa putus sekolah. (*)