HAI-online.com - Sugeng Untung merupakan satu dari sekian banyak tim profesional yang terlibat dalam program IKKON yang digagas Bekraf. IKKON adalah program pembinaan bagi para perajin lokal untuk mengembangkan potensi daerahnya.
Pada 2016, Sugeng menjadi ketua tim IKKON Sawahlunto. Lewat interaksi yang intensif dengan para perajin tenun di beberapa desa penghasil tenun, di antaranya Desa Silungkang, Desa Lunto, dan Pasar Kubang. Lahirlah produk rotan yang dikombinasikan dengan tenun. Karyanya ini cukup menarik perhatian dalam ajang Inacraft, JCC 2017.
Sugeng memiliki minat yang besar pada produk berbahan rotan. Karenanya sejak 2012, ia menekuni desain rotan. Ia ingin mengubah citra kursi rotan yang old dan membosankan menjadi muda dan modern. Terlebih lagi ia melihat potensi rotan yang sangat besar di Indonesia. Hampir 80 persen kebutuhan rotan dunia disuplai dari Indonesia. Potensi yang melimpah ini tentu sayang bila tidak dimanfaatkan. Ketertarikan Sugeng pada rotan juga lantaran karakteristik material ini yang unik, selain bentuknya yang bulat, rotan juga bisa dilengkungkan, namun tantangannya, kelenturan rotan membuatnya mudah kembali ke bentuk semula. Lekukan terlalu ekstrem juga bisa membuatnya retak. Untuk hal ini, Sugeng menyiasati dengan membuat simpul-simpul yang saling menguatkan.
Salah satu karya Sugeng yang menarik perhatian adalah bencherfly, yaitu bangku tanpa sandaran berbentuk simpel dengan kerangka dari rotan yang membentuk siluet kupu-kupu.
Baca Juga : Alvin Yunata: Mengangkat Tembang Lawas Lewat Irama Nusantara
Keterlibatan Sugeng pada program IKKON berawal dari keikutsertaannya pada salah satu kompetisi yang diadakan oleh Menparekraf (sebelum menjadi Bekraf). Sejak saat itu ia kerap diundang untuk berpartisipasi dalam setiap program Bekraf, termasuk IKKON.
“Saat itu saya diturunkan di Sawahlunto, Sumatera Barat. Saya mengunjungi Sawahlunto bersama dengan 9 desainer dari terapan desain yang berbeda. Ada arsitek, desainer fesyen, desainer grafis, desainer produk, desainer interior, desainer tekstil, multimedia, fotografer, videografer, dan antropolog. Kami turun ke Sawahlunto kurang lebih selama 4 bulan,” cerita Sugeng.
Pada pemberangkatan pertama, Sugeng dan tim melakukan observasi untuk mencari tahu apa yang menjadi potensi daerah tersebut. Dari hasil observasi dan diskusi bersama perajin lokal dan pemerintah setempat, mereka mulai memetakan potensi daerah tersebut untuk kemudian dimatangkan konsepnya di Jakarta. Pada bulan berikutnya, Sugeng mulai mendesain bersama perajin dan menjalankan proses prototyping. Setelah itu, produk tersebut dipamerkan untuk melihat respons masyarakat setempat.
Ketika pertama kali diterjunkan di Sawahlunto, Sugeng mengaku terkesan dengan kota ini. Dikenal sebagai kota tambang yang sudah mati, Sawahlunto memiliki potensi tenun Silungkang. Namun, jika semua daerah mengerjakan tenun, persaingan harga menjadi tidak sehat. Karenanya, setelah tim antropologi selesai mengidentifikasi, keluarlah program one product one village.
“Biarkan daerah yang melakukan tenun, konsentrasi pada tenun. Sedangkan di desa lain, konsentrasi pada yang lain seperti anyaman bambu. Kami membuat satu inovasi menggabungkan tenun dan rotan sehingga menjadi bahan yang bisa diterapkan di beberapa produk seperti pelapis sofa dan bahan tas,” jelas Sugeng.
Selain tenun, Sugeng dan tim desainer juga melihat potensi batu bara, yang sejauh itu hanya digunakan untuk membuat patung dan plakat sederhana.
“Kami yakin bisa melakukan sesuatu yang lebih pada batu bara, karena itu kami mencoba mengkreasi ulang perhiasan batu bara dengan menggabungkan bahan lain yang lebih mahal seperti perak,” kata Sugeng.
Masih dengan bahan batu bara, Sugeng dan tim membuat kaos dengan teknik tie dye, dengan menggunakan pewarna dari bahan batu bara. Ketika dipamerkan, produk ini laris, dipesan sebanyak 500 buah untuk event tenun Silungkang internasional yang berlangsung di sana.
Berbekal pengalaman dari IKKON, bulan lalu Sugeng baru saja menyelesaikan program CREATE 2018. Ia bertindak sebagai mentor untuk mahasiswa pascasarjana FSRD ITB yang melakukan pendampingan pada para perajin dan memberi bimbingan teknis.
“Program yang ini tidak sebesar IKKON tetapi misi dan visinya mirip, mencoba memperbaiki kualitas produk dan kemasan. Kali ini, Bekraf bekerja sama dengan FSRD ITB di mana salah satu mata kuliahnya adalah ekonomi kreatif,” ujar Sugeng.
Pada program ini, ada beberapa tenaga ahli yang mendampingi mahasiswa. Mereka dibantu untuk mengeksplorasi material, produk unggulan, dan potensi daerah bersama perajin. “Proses pengerjaannya dari awal lagi, kami mengubah semua, sampai akhirnya menghasilkan produk baru dan lebih baik dari produk-produk sebelumnya,” tutup Sugeng. (*)