HAI-online.com - Bulan Mei adalah bulan penting bagi negara kita. Ada sejumlah momen penting nasional yang terjadi. Yang tercatat di kalender senggaknya ada tiga: hari buruh, hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional. Namun, kita harus selalu inget bahwa di paruh kedua bulan Mei ada momen penting juga yang perlu kita peringati, yaitu perjuangan reformasi yang terjadi Mei 1998.
Nah, hari ini, 18 Mei dua puluh tahun. Mahasiswa dari berbagai universitas kompak mendantangi gedung MPR/DPR untuk mendudukinya sebagai bentuk tuntutan agar Presiden Soeharto mundur diri dari jabatannya.
Kita mundur dulu ceritanya. Pada 11 Maret 1998, Soeharto ditunjuk lagi untuk menjadi presiden dengan BJ Habibie sebagai wakilnya. Kabinet Pembangunan VII pun dibentuk.
Sejak itulah demonstrasi mahasiswa semakin besar dan berani. Apalagi situasi ekonomi semakin memburuk. Harga BBM saat itu melambung, sob!
Demonstrasi yang intens dilakukan mahasiswa jadi berujung tragedi pada 12 Mei. Aparat keamanan menekan mahasiswa bahkan sampai melakukan penembakan. Akibatnya, ada 4 mahasiswa Trisakti yang tewas dan 681 orang yang luka-luka.
BACA JUGA:#HAIFiles 1998: Selasa Berdarah di Trisakti, Reformasi dan Remaja
Setelahnya, terjadi kerusuhan bernuansa rasial yang dilakukan oleh warga pada 13-15 Mei 1998. Toko-toko di jarah dan dibakar, warga etnis Tionghoa diserang warga bahkan diperkosa. Kerusuhan itu, diduga sebagai usaha untuk mengalihkan perhatian mahasiswa dalam berjuang.
Akhirnya, pada 18 Mei 1998, mahasiswa UI bergerak menjuju DPR untuk bergabung dengan mahasiswa dari Forum Kota, PMII, HMI, dan KAMMI untuk mengepung gedung DPR/MPR
Di hari itu, tokoh-tokoh dari Gerakan Reformasi NAsional juga ikut mendatangi kompleks parlemen Para tokoh juga berorasi di depan massa menyatakan tuntutan agar Soeharto-Habibie mundur.
Di lain tempat, sejumlah tokoh dan kelompok pergerakan juga melakukan usaha-usaha lain untuk mendesak Soeharto dan Orde Baru
Hingga pada pukul 15.20 hari itu, pimpinan DPR/MPR yang diwakili Harmoko membuat konferensi pers. Harmoko pun meminta Soeharto untuk mundur, lho!