Follow Us

#HAIFiles 1998: Selasa Berdarah di Trisakti, Reformasi dan Remaja

Ricky Nugraha - Sabtu, 12 Mei 2018 | 20:00
#HAIFiles 1998: Selasa Berdarah di Trisakti, Reformasi dan Remaja
Arsip HAI

Akibatnya, pemilihan film yang masuk ke Indonesia makin selektif. Pihak distributor asing melakukan penjadualan ulang peredaran filmnya di Indonesia. Misalnya Colombia Pictures yang bakal menunda film super dahsyat tahun ini, Godzilla. Atau The Man In The Iron Mask yang kadung sudah dipromosikan tapi tetap terkena dampak penjadualan ulang.

“Sejak kerusuhan kemarin, situasinya makin parah. Sekitar 8 bioskop habis terbakar. Daripada kami rugi karena muter (film-red) tapi nggak ada yang nonton, mendingan nggak muter aja,” jelas Tony Arif dari Camila Internusa Film.

Harapan satu-satunya tinggal bergantung kepada kreativitas TV-TV swasta. Memang, hanya sektor inilah yang mampu bertahan di tengah krisis. Meski terus dihantam badai, pihak TV swasta lebih beruntung karena bisa memutar ulang stok lama. Juga karena beberapa program sudah diteken sebelum krisis berkecamuk.

“Jadual penayangan World Cup 98 hingga saat ini tidak ada perubahan. Acara off air Sega Soccer juga tetap digelar. Tapi lihat kondisinya dulu. Moga-moga aja pusat-pusat permainan Sega nggak ikut dirusak massa,” kata Uki Hastama, staff humas SCTV.

PENDIDIKAN TERGANGGU

Kata H. Faisal Basri, pengamat ekonomi yang juga dosen FE UI, saat seperti ini tak ada yang bisa dilakukan remaja kecuali belajar dengan baik. Menginvestasikan diri untuk meningkatkan kualitas diri supaya bisa bersaing waktu semuanya sudah normal.

Persoalannya, sektor pendidikan pun terganggu aktivitasnya. Yang paling merepotkan, harga bahan baku kertas naik yang berbanding lurus dengan meroketnya harga buku. Perlahan tapi pasti, buku jadi barang mewah buat pelajar. Ironis.

Biaya pendidikan buknannya makin murah, melainkan makintak terjangkau. Ribuan mahasiswa terancam drop out, sementara ribuan lainnya sudah menyiapkan ancang-ancang untuk putus sekolah. Pilihan wajar jika melihat kondisi perekonomian yang makin berat.

Keluarga dengan pendapatan pas-pasan juga kesulitan mencari referensi tambahan. Banyak penerbit buku sudah menyatakan menyerah. Mereka lebih memilih berhenti mencerdaskan kehidupan bangsa daripada menanggung kerugian yang tak mungkin bisa ditutupi melihat kondisi sekarang.

Lagi-lagi remaja yang jadi korban. Apalagi sudah menjadi rahasia umum kalau sistem pendidikan kurang mendidik peserta belajar untuk mandiri. Guru tak senang dibantah. Apapun yang diajarkan harus diterima. Berbeda sedikit berarti salah. Berargumentasi dengan pola pikir berbeda berarti membangkang.

“Susah benar jadi pelajar sekarang ini. Tiap kali ulangan jawabannya sudah ditentukan. Kalau menjawab yang lain sedikit saja, disalahkan. Mereka jadi sulit berpikir kritis,” kritik Ibu Karlina yang sangat peduli dengan masa depan anak Indonesia.

Penyeragaman pola pikir itu bahkan sudah mulai diterapkan sejak jenjang SD. Lihat gambar rata-rata anak SD, polanya sama: 2 gunung, ditengahnya ada matahari, dilengkapi hamparan sawah yang membentang di kaki gunung itu. Sama, seragam, sebangun.

Editor : Rizki Ramadan

Baca Lainnya

Latest