Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Nggak Usah Berusaha Jadi yang Paling Sempurna, Soalnya Perfeksionis Gampang Stres

Alvin Bahar - Selasa, 17 April 2018 | 10:15
Antara karena bermasalah, atau asik sama dunia sendiri. Itu alasan mahasiswa di drop out
Alvin Bahar

Antara karena bermasalah, atau asik sama dunia sendiri. Itu alasan mahasiswa di drop out

HAI-ONLINE.COM - Orang yang menganggap dirinya perfeksionis biasanya keras pada diri mereka sendiri ketika hal-hal nggak berjalan sesuai keinginan mereka. Sifat ini memang diperlukan pada beberapa hal, tapi kalo standar kita terlalu tinggi lama kelamaan kita justru jadi depresi.

Menurut Jackie Chan, seorang psikolog dari The Hong Kong Psychological Counselling Centre, perfeksionisme adalah sikap atau keyakinan bahwa nggak boleh ada kekurangan dalam pekerjaan atau kemampuan seseorang. Biasanya si perfeksionis menetapkan standar yang tinggi - kadang nggak realistis - bagi dirinya sendiri, dan menganggap diri gagal ketika nggak dapat memenuhi standar tersebut.

Seringkali pencarian kesempurnaan dimulai sejak usia muda, terutama ketika mereka memiliki orangtua atau figur otoritas lain seperti guru, yang menetapkan kesempurnaan sebagai standar yang diinginkan. Kesalahan apa pun yang dibuat biasanya akan berbuah kritik, teriakan, bullying, atau bahkan hukuman fisik.

Akibatnya mereka tumbuh dengan hasrat untuk menyenangkan dan menerima pujian dari orang lain. Mereka juga percaya bahwa harga diri mereka terikat dengan prestasi mereka.Media, masyarakat luas dan keyakinan budaya juga dapat berkontribusi pada keinginan untuk jadi "sempurna".

Perfeksionisme juga dicirikan oleh evaluasi diri yang terlalu kritis dan khawatir tentang penilaian dan kritik orang lain. Meskipun nggak ada yang salah dengan mengejar standar yang tinggi, jadi teliti, atau menginginkan semua hal berjalan dengan cara tertentu, namun sikap ini sebenarnya punya efek negatif.

Efek paling nyata dari sifat tersebut berupa tindakan menyakiti diri sendiri, sindrom kelelahan kronis, gangguan obsesif-kompulsif, insomnia, gangguan stres pasca-trauma, gangguan kecemasan sosial, kecemasan dan depresi.

Riset terbaru dari Australian Catholic University juga menemukan bahwa sifat perfeksionis menyebabkan depresi. Tentu kita nggak ingin kerja keras kita untuk mencapai level kesempurnaan jadi bumerang bagi kesehatan mental.

Para ahli menyebutkan, sikap mencintai diri sendiri, atau praktik kebaikan diri, dapat melemahkan hubungan antara perfeksionisme dan depresi.

Dr Madeleine Ferrari, seorang psikolog, mengatakan bahwa orang-orang yang menyalahkan diri sendiri ketika mereka membuat kesalahan atau gagal mencapai standar tinggi dapat disebut "maladaptif perfeksionis". Kondisi tersebut merupakan pemicu kelelahan dan depresi.

"Sikap belas kasih dan peduli pada diri dapat membuat orang perfeksionis terhindar dari depresi, baik pada remaja atau orang dewasa," kata Ferrari.

Cek: 10 Kelakuan Kocak Pengendara Motor Indonesia yang Dijamin Nggak Bakal Ada di Negara Lain

Saat ini, banyak orang dewasa dan remaja berada di bawah tekanan besar untuk memenuhi standar yang sangat tinggi, baik dalam kehidupan pribadi mereka maupun di sekolah dan tempat kerja. Ketika mereka jadi terlalu fokus pada kesalahan, frustrasi dan marah pada diri sendiri saat gagal memenuhi harapan yang dibuat sendiri, risiko untuk mengalami depresi sangaltlah besar.

Berdasarkan laporan CNN tahun 2017, World Health Organization (WHO) umumkan kalo depresi jadi penyebab utama masalah kesehatan dan kenggakmampuan di seluruh dunia. Angka penderita depresi ini telah naik lebih dari 18 persen sejak 2005.

Depresi mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir dan berperilaku. Gejalanya antara lain seperti kehilangan minat dalam hobi, perasaan nggak berharga, konsentrasi yang buruk, kenggakmampuan untuk membuat keputusan, hingga gairah seks rendah.

Artikel ini telah tayang diKompas.comdengan judul "Orang Perfeksionis Gampang Stres".

Editor : Hai

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

Popular

Hot Topic

Tag Popular

x