Hal serupa terjadi pula di Indonesia sejak 2015, di mana sebuah studi Millward Brown menunjukkan para pengguna smartphone Tanah Air -yang berjumlah sekitar 30 persen dari populasi- lebih banyak menonton video dari perangkat internet (ponsel, tablet, atau komputer) ketimbang televisi.
Bukan TV yang hilang
Lantas, seperti apa masa depan televisi? Sebagai salah satu sosok terkenal di YouTube dengan jumlah subscriber hampir delapan juta di kanalnya, Casey Neistat mengaku masih optimis dan merasa TV akan terus ada. Hanya aja, menurut Neistat, batas-batas antara TV dan YouTube akan semakin kabur.
Dia memprediksi perkembangan teknologi gadget dan alat produksi yang makin terjangkau dan mudah dipakai akan membuat konten YouTube makin mirip dalam hal kualitas dengan konten TV atau film sekalipun.
Buat Neistat, media sosial -termasuk YouTube- adalah sarana demokratisasi teknologi yang menghilangkan barrier of entry atau penghalang untuk memulai kiprah di bidang kreatif. Kini tak harus mengandalkan media konvensional untuk mempublikasikan kreasinya. Semua orang bisa jadi bintang, termasuk Neistat sendiri yang berkibar di YouTube.
"Yang menarik dari tren ini adalah, bagaimana ia (YouTube) menciptakan peluang untuk konten bergaya baru, dan menyediakan outlet kreativitas untuk tiap orang," kata Neistat. Karena itu, lanjut Neistat, yang akan menjadi tidak relevan bukanlah industri TV itu sendiri, melainkan peranannya sebagai penentu tren satu arah di masyarakat.
"Tren budaya akan ditentukan oleh masyarakat lewat outlet sosial. Bukan lagi monopoli segelintir pihak," pungkasnya.
Artikel ini pertama kali ditayangkan di Kompas.com, dengan judul artikel Ada YouTube, Bagaimana Masa Depan TV?