“Wah, bung. Itu rahasia perusahaan.”
(…) kemudian aku mencoba melayangkan bogem mentaku, dengan sekuat tenaga, tepat ke arah sikat giginya, dengan harapan benda jahaman itu akan merobek mulut sialannya.
Perasaan Holden makin runyam. Holden, di malam hari itu,memutuskan cabut menuju New York membawatas dengan isi seadanya, memakai topi berburu kesayangannya, mengemut rokok, mengantongi uang tabungan dan menyeret setumpuk kegelisahan. Ia tak punya tujuan pasti, ia menumpang kereta, menginap di hostel mesum, bertengger dari satu bar ke bar lain, menekuri taman kota, menyelinap ke rumahnya sendiri, hingga mengitari kebun binatang.
Ia mencari cara untuk bisa ngobrol dan curhat. Namun, orang-orang yang ia temuinya, baik sengaja maupun nggak, nggak menunjukkan gejala bahwa mereka benar-benar peduli dan bisa sunggu-sungguh menemani Holden—bahkan Holden sempat memanggil PSK ke kamar hotelnya hanya untuk mengobrol tetapi si PSK tak mau. Padahal yang Holden butuhkan cuma satu: penerimaan.
Yang menarik dari novel ini lagi adalah ocehan-ocehan Holden si tokoh anti-hero ini. Ia senang mempermasalahkan banyak hal, meladeni segala macam pikiran yang melintas di kepalanya. Kata-kata kasar dan umpatan sarkas selalu mencuat di pikirannya ketika membahas apa pun. Holden benci dengan masyarakat yang ia anggap lebih banyak yang munafik, ia kesal dengan sistem, ia mengutuk lingkungan pergaulannya, dan kadang ia juga membenci dirinya sendiri. Singkatnya, Holden marah pada banyak hal.
Menjadi seorang pengecut memang bukan hal yang menyenangkan. Mungkin sebetulnya aku bukan pengecut betulan. Ah, entahlah, aku tidak tahu. Aku pikir barangkali aku ini cuma setengah pengecut. Setengahnya lagi adalah tidak pedulian.
Kutipan dari halaman 158:
Uang sialan. Uang memang tak pernah bisa bikin kita merasa senang
Kutipan dari halaman 184:
"Sekali-sekali kamu harus mampir ke sekolah khusus anak laki-laki. Coba saja kapan-kapan, “ kataku. “sekolah seperti itu selalu saja penuh sesak dengan pemuda-pemuda yang serba munafik. Satu-satunya yang harus kami pelajari adalah belajar keras agar kami bisa tahu bagaimana caranya bisa jadi cukup cerdas. Cukup cerdas agar bisa beli Cadillac sialan suatu hari nanti. Kami harus berpura-pura dengan sekuat tenaga menipu diri dan meyakin-yakinkan betul pada diri kami sendiri bahwa sialanbetul kalau tim sepak bola sekolah kami sampai kalah. Dan yang kami harus lakukan tiap hari adalah sibuk mengoceh soal gadis yang juga tentang minuman keras dan seks seharian penuh. Lalu semua orang saling membela satu sama lain yang tergabun dalam kelompok mereka masing-masing."
Holden persis seperti yang di gambarkan oleh Billie Joe: frustasi, punya banyak rencana, namun ia lebih sering dibuat menyerah di akhirnya. Barangkali nuansa ketertekanan dan perasaan kacau-balau yang diceritakan itulah yang membuat novel ini kerap memicu kemarahan dan pemberontakan.