Ujian Nasional alias UN emang bukan lagi penentu kelulusan, tapi lebih untuk alat untuk mengukur pemerataan pendidikan Indonesia. Mulai tahun lalu, UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer) mulai diujicoba. Dan tahun ini udah dijalankan serempak di tingkat SMP dan SMA sederajat. Tapi sayang, niat mengetahui pemerataaan kualitas pendidikan, malah kesandung soal pemerataan kepemilikan komputer sekolah.
Ya, nggak semua sekolah punya cukup komputer untuk para peserta ujian.
Hal itu juga ditemukan dalam reses Anggota DPD RI asal Sulsel di Komite III, AM Iqbal Parewangi pada 10 Maret, hingga 9 April mendatang. Minggu lalu (27 Maret - 1 April), dia sengaja berkunjung langsung ke sejumlah sekolah dan madrasah negeri maupun swasta. Termasuk SMA Negeri Unggulan/Andalan di Makassar, Maros, Pangkep, dan beberapa lainnya. Juga pondok pesantren, diantaranya Ponpes Darul Istiqamah dan Ponpes Nahdatul Ulum di Maros, Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Makassar, dan ponpes IMMIM Putri di Pangkep. "Ada sejumlah temuan memprihatinkan. Di antaranya, kekurangan komputer untuk UNBK terjadi di semua sekolah dan madrasah tersebut," kata Iqbal, Minggu (2/4). Untuk menyiasati kurangnya komputer, sekolah dan madrasah membagi pelaksanaan UNBK menjadi 3 sesi per hari. Meski begitu, masih juga kurang. Sekolah dan madrasah pun akhirnya harus meminjam laptop milik siswa atau guru. "Hal itu terjadi di semua SMA Negeri unggulan yang saya kunjungi, lebih-lebih lagi di Madrasah dan Pondok Pesantren," bebernya. Dia mencontohkan di sebuah SMAN unggulan di Makassar dengan 417 peserta UNBK yang dibagi 3 sesi per hari, dibutuhkan 120 komputer. Sementara tersedia hanya 30 unit, sehingga harus pinjam termasuk 80 unit laptop dari siswa. Begitu juga di SMAN Unggulan di Maros, tersedia 64 unit komputer, kebutuhannya 114 unit, sehingga harus pinjam 50 laptop siswa. Kondisi serupa dia temukan di sejumlah madrasah dan pondok pesantren, itupun karena madrasah/ponpes sudah berinisiatif sendiri mengadakan sebagian komputer secara swadana. Tapi masih kurang juga. Di Sekolah Putri Darul Istiqamah (SPIDI) Maros, misalnya, hanya tersedia 17 unit komputer, yang dibutuhkan 26, jadi masih harus pinjam 9 laptop santri bahkan dari orangtua santri. Di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Makassar, tersedia 16 unit komputer, butuh 40 maka terpaksa pinjam 24 laptop. Di ponpes IMMIM Putri Pangkep, dimana dari 12 unit komputer yang tersedia hanya 5 yang masih berfungsi baik, sementara butuh 20 maka terpaksa pinjam 8 laptop siswa. "Adapun 7 komputer yang kadang macet itu mereka hanya berdoa semoga tidak macet saat dipakai UNBK," bebernya. Bahkan di ponpes Nahdatul Ulum di Maros, ponpes yang dipimpin Anregurutta KH Sanusi Baco, UNBK belum bisa dilaksanakan tahun 2017 ini karena tidak tersedia fasilitas komputer utk itu. Dengan kondisi memprihatinkan seperti itu, dia tidak heran ketika mendengar ada usulan agar UNBK ditiadakan saja. "Setelah dialog lebih mendalam dengan pihak sekolah/madrasah, lebih terpahami bahwa penolakan UNBK itu bukan karena tidak mampu menempuh UNBK, tetapi karena kurangnya dukungan negara untuk kesuksesan pelaksanaan UNBK," akunya lagi. UNBK bukan lagi penentu kelulusan siswa. UNBK untuk pemetaan kualitas pendidikan secara nasional. Disayangkan, tujuan pemetaan kualitas itu tidak dibarengi dengan pemerataan fasilitas. Contohnya kekurangan komputer untuk UNBK. Juga disayangkan, seperti terungkap dalam dialog mendalam di sejumlah sekolah, hasil pemetaan itu belum terlihat tindak lanjutnya. Padahal UNBK itu proyek pendidikan nasional beranggaran besar. "Sejumlah temuan data dan informasi aktual dan faktual seputar UNBK itu, Insyaallah saya sampaikan secara terbuka khususnya dalam Raker Komite III DPD RI dengan Mendikbud RI dan Menag RI, untuk diberikan solusi agar tidak semakin berlarut-larut hingga ke tahun-tahun mendatang," bebernya.