“Jadi itu kenapa akhirnya CTS 1 itu lebih maskulin gitu ya, kalau ini [CTS 2] lebih feminin walaupun buat yang cowok juga masih bisa relate,” ujarnya.
Ia melanjutkan, “Karena kemungkinan kalo punya pasangan, dan pasangannya juga merasakan hal yang sama, sebagai istri atau calon istri, atau sebagai pacar, pokoknya pasangan gitu, jadi mungkin akan bisa melihat dari dua sisi,” ungkapnya.
Hadirkan realita yang dekat ke penontonnya
Sutradaranya, Ernest juga menungkapkan, CTS 1 dianggap lebih laki ini artinya nggak cuman sekadar karena central konfliknya ada di dua bersaudara pria dan bapaknya.
“Tapi juga ketika itu tuh, 6 tahun yang lalu itu kita hidup di masa ‘kesadaran’ yang berbeda sama sekarang. Di film kedua tuh gua masih nggak cukup sadar untuk pakai jokes-jokes yang seksis, kayak jokes-jokes yang mengobjektifikasi perempuan,” terangnya.
Maka dari itu, di CTS 2 ini sudut pandangnya juga berimbang antara laki-laki dan perempuan.
“Serta juga tangkap isu-isu lain, misalnya Childfree. Makanya tadi teman-teman lihat di trailer soal Yohan dan Ayu yang belum ingin punya anak, kayak gitu. Jadi lebih berimbang lah sudut pandang antara maskulin dan feminin nya,” pungkasnya. (*)