Kalau tujuan itu jelas, baru bicara manajemen soal pelaku pertandingan mulai dari pemain, wasit, pelatih sampai suporternya.
Selain itu, aspek manajemen harus terintegrasi secara keseluruhan. Belajar dari kasus Kanjuruhan, manajemen penonton harus jelas dan detail seperti pengaturan tempat duduk.
Anak-anak, ibu-ibu atau kelompok usia rentan nggak campur dengan kelompok anak-anak muda yang jiwa dan mobilitasnya tinggi.
Kemudian, perlu manajemen penggerak penonton serta manajemen infrastruktur.
Secara holistik, sepak bola damai saling berkaitan, bagaimana petugas keamanan profesional menghadapi suporter. Ini nggak bisa disamakan dengan penanganan massa aksi saat ada demonstrasi.
“Manajemen memang sudah ada, tetapi nggak integrated dan nggak ada jiwa sportivitas yang ditumbuhkan. Jika ini nggak diperhatikan, pertandingan bakal jadi bencana dan sepak bola jadi event yang menakutkan,” ujar Imam.
Terkait suporter yang nggak tertib dan diberikan sanksi misalnya, menurutnya itu bisa saja dilakukan, tetapi perlu diingat, kesadaran nggak tumbuh hanya karena sanksi. Pun tertib dan disiplin nggak bisa terwujud dalam sekejap.
Ada tiga sikap yang menurutnya harus diperhatikan, seperti “Deindividualisasi yaitu ketika berada di suatu kelompok kita akan hilang kedirian dan masuk ke identitas kelompok. Norma individu jadi hilang. Kita jadi berani melanggar, karena kelompok kita melanggar. Kedua, gampang ikut-ikutan atau meniru dan mudah diperintah,” bebernya.
“Karena itu harus pakai pendekatan yang terintegrasi, termasuk manajemen infrastruktur semuanya. Saya membayangkan ini suatu upaya membangun integrated management system untuk membangun kultur sepak bola tanah air yang berkualitas ke depan,” ucap Sosiolog Universitas Indonesia itu.
Karakter Bangsa dan Olahraga
Sementara itu, Prof. Muchlas Samani, Tokoh Pendidikan Karakter Unesa dalam kultur sepak bola Indonesia, ada aspek-aspek yang tidak seimbang.
Contohnya, semangat untuk menang terlalu tinggi tapi nggak dibarengi semangat menghargai lawan.