HAI-Online.com - Masuk fase Emerging Adulthood dimana masa dewasa baru yang dapat dikatakan sebagai kondisi belum sepenuhnya mencapai kedewasaan, dan ini biasanya diiringi quarter life crisis.
Hal tersebut yang memacu adanya suatu krisis dan munculnya ambiguitas identitas antara anak-anak atau orang dewasa, yakni quarter life crisis itu sendiri.
Kondisi tersebut menggambarkan seseorang yang ingin adanya kebebasan, tetapi cemas terhadap masa depan, dan merupakan suatu keadaan seseorang yang nggak mau disebut remaja karena sudah dapat mengambil keputusan, namun belum dapat lepas dari peran orang tua seutuhnya.
Baca Juga: Siap-siap Merinding! 10 Film Horor Ini Bisa Memicu Adrenalin
Hal tersebut akhrinya dibahas dalam Webinar It’s Quarter Life Crisis But It’s Okay (I-QLO) yang digelar Biro Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Katolik Parahyangan (BKA Unpar) pada Jumat (10/06/2022).
Acara bertajuk “Blocking Out Anxiety Throughout The Quarter Life” tersebut mengundang Trainer dan Manajer Operasional Dale Carnegie Training, Dra. Lidwina Wahyu Widayati, Psi, dan dimoderatori dosen Manajemen Unpar, Rizka Nugraha Pratikna, S.E., M.M.
Menurut Erik Homburger Erikson, dalam teorinya soal Psychosocial, Lidwina menuturkan jika pada dasarnya sifat manusia merupakan bawaan sejak lahir. Kendati demikian, sifat manusia pada akhirnya dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.
Baca Juga: Lagi Fase Krisis Jati Diri? 5 Film Ini Bisa Buat Hiburan dan Refleksi
“Kita punya bawaan, tapi lingkungan sosial juga mempengaruhi kita.” tutur Lidwina.
Dia mengatakan kalau isu masalah kepemilikan tentang identitas diri yang kuat jadi awal dari adanya suatu quarter life crisis.
“Anak-anak yang sejak SMP, SMA-nya dibiarkan membangun identitas diri, biasanya di umur 23, 24, 25 juga enggak terlalu bermasalah dengan quarter life crisis. Dia tahu apa yang mau dia mau,” katanya.
Lidwina pun memberikan beberapa ciri – ciri Quarter Life Crisis, di antaranya adalah:
- Merasa hilang arah dalam hal karir, relasi, dan tujuan hidup secara keseluruhan.
- Sulit mengambil keputusan.
- Merasa ada yang hilang, tapi sulit diungkapkan.
- Nggak termotivasi.
- Sering kelelahan, stres, cemas, atau depresi.
- Adanya tekanan antara meraih mimpi dan memantapkan diri.
- Kuatir karena pencapaian teman – teman, mereka punya banyak hal.
- Cari teman yang bisa diajak buat sharing. Akan lebih baik kalo kita memiliki teman perempuan ataupun laki karena perbedaan sudut pandang bisa membantu kita mendapatkan solusi yang lebih tepat.
- Ingat bahwa seluruh perasaan adalah normal dan Tuhan memiliki tujuan baik membentuk kita sedemikian rupa.
- Alihkan rasa frustasi ke hal lain seperti hobi, magang, ataupun mempelajari hal baru.
- Jangan batasi diri berdasarkan latar belakang pendidikan sehingga asahlah diri dalam bidang apapun.
- Kenali emosi, tarik nafas dan move on.
- Jangan menumpuk stress. Carilahkegiatan yang mengurangi stress.
- Hindari cek sosial media. (*)