Kepala SMA No 12, Beijing, dan anggota Komite Nasional Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China, Li Youyi, menilai kebijakan baru ini termasuk yang terbaik sejak kebijakan penggunaan kembali ujian masuk perguruan tinggi nasional pada 1978.
Apalagi, jika melihat hasilnya.
”Dari survei di sekolah saya, proporsi siswa dengan penglihatan yang buruk turun 8,6 poin persen sejak kebijakan baru ini diturunkan. Proporsi siswa yang kelebihan berat badan turun 1,8 poin persen dan ujian sekolahnya membaik, naik hampir 10 poin persen,” ujar Li, yang sudah jadi guru selama lebih dari 40 tahun itu.
Selain itu, rata-rata jumlah buku yang dipinjam siswa dari perpustakaan sekolah juga meningkat dari 1 atau 2 buku jadi 5 buku.
Kebijakan baru pemerintah yang mengurangi beban akademik yang nggak perlu dan hanya berulang itu, kata Li, terbukti membuat kepribadian, kreativitas, dan tanggung jawab jadi lebih baik. Dari sisi ambisi siswa pun lebih baik.
Nggak lagi seperti dulu yang seakan-akan semua siswa harus selalu nomor satu dan berprestasi.
Anggota Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional dan Wakil Direktur Komite Tetap Kongres Rakyat di Provinsi Jiangxi, Ma Zhiwu, menilai kebijakan baru ini mencerminkan sifat nonprofit dari wajib belajar.
Namun, ia tetap mengingatkan, masih banyak persoalan dalam implementasi kebijakan baru pendidikan itu, seperti standar dan peraturan pemerintah daerah yang berbeda-beda, serta lembaga bimbingan belajar swasta yang masih tetap ingin melanjutkan bisnis mereka setelah nanti peraturan mengendur.Undang-undang Pendidikan Wajib, kata Ma, harus diubah untuk memasukkan kebijakan baru mengurangi beban pekerjaan rumah dan bimbingan belajar, serta membuat peraturan berjangka panjang, terstandardisasi, dan terbuka.
Artikel ini pertama kali tayang di Kompas.id dengan judul "Tak Ingin Anak-anak Menderita karena Sekolah, China Kurangi Beban Pelajaran Siswa"