Tegar Ristianto menjelaskan, kegiatan ini diadakan karena prihatin pada kondisi masyarakat yang belum memiliki pekerjaan sampingan setelah menyadap karet dan banyaknya biji karet yang belum dimanfaatkan sebagai bahan baku olahan pangan.
"Biji karet yang jatuh dari pohon hanya dibiarkan begitu saja dan hanya sebagian yang digunakan sebagai bibit oleh petani," ujar Tegar dikutip dari laman UNY, Jumat (18/3/2022).
Di samping itu, sosialisasi dilaksanakan bertujuan untuk memberikan pandangan baru bagi masyarakat bahwa biji karet yang menjadi potensi besar di Desa Babat akan memiliki nilai jual lebih jika masyarakat mau tergerak untuk memanfaatkannya, seperti mengolah menjadi tempe.
Sementara Alifah Nur Aqrimah mengatakan, tempe adalah makanan yang akrab dengan keseharian masyarakat. Biji karet mengandung 31,6 persen karbohidrat, 15,6 persen protein, 40,9 persen lemak dan sisanya adalah minerak dan asam sianida. Oleh karena itu asam sianida ini harus dihilangkan dengan cara perendaman selama 24 jam dan perebusan selama 90 menit.
Asam sianida mempunyai sifat mudah larut dan mudah menguap sehingga saat perendaman akan terbuang bersama air. Sedangkan proses perebusan zat linamerase dan asam sianida akan terakumulasi.
"Tempe dari biji karet lebih lembut daripada tempe kedelai, tidak cepat menjadi busuk dan dapat disimpan selama 2 minggu di dalam lemari es," terang Alifah.
Selain itu, tahap peragian (fermentasi) adalah tahap penentu keberhasilan dalam membuat tempe. Selanjutnya, tempe dikemas sesuai dengan selera, dapat menggunakan plastik ataupun daun pisang.
Plastik atau daun pisang yang telah berisi biji karet dilubangi dengan menggunakan jarum yang terbuat dari kayu ukuran kecil kira-kira 8-10 lubang untuk setiap sisi atas dan sisi bawah. Tempe disimpan di tempat yang tidak tertutup.
Untuk menghindari pembusukan pada tempe karena suhu yang terlalu panas, usahakan di tempat yang terjadi sirkulasi udara. Tempe didiamkan kurang lebih selama 2×24 jam. Setelah itu tempe siap diolah menjadi makanan yang lezat dan bergizi tinggi.
Kepala Desa Babat Arie Meidiansyah, M.Pd., berharap kepada masyarakat yang hadir dalam kegiatan tersebut untuk mengambil ilmu dan bisa menyampaikan kepada sanak saudara atau tetangga. Sehingga dapat bersama-sama memanfaatkan potensi biji karet di Desa Babat menjadi sesuatu yang memiliki nilai jual serta dapat menambah penghasilan keluarga.
Asal jangan dicampur sama bubur kertas aja ya, itu namanya pengolah curang. Semoga yang ini rasanya enak. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mahasiswa UNY Inovasi Biji Karet Jadi Tempe".