Sampai akhrinya kita ketemu 'what if' yang menarik. Kita mikir, 'apa jadinya bila karakter utama kita tempatkan di situasi yang 'nggak normal?' Nah, dari situasi itulah yang akhirnya menciptakan genre drama dan aksi.
Chicco: Fast & Furious aja dari balapan bisa jadi nyelamatin dunia dari perang nuklir. Nah kita dari tukang kopi, awalnya megangnya portafilter, jadi megang pistol.
Baca Juga: Review Malignant, James Wan Sajikan Jalan Cerita Penuh Kebrutalan
Secara lo udah memerankan Ben sejak dua film terakhir, gimana proses adaptasi lo sama alur 'Ben & Jody' yang beda total ini?
Chicco: Karena ceritanya udah beda sepenuhnya dari dua film sebelumnya, ya gue memang harus adaptasi lagi. Workshop lagi, belajar lagi.
Tim juga mengadakan writer's camp di Magelang waktu itu. Dan kita mencoba cari logika yang tepat buat ngembangin karakter Ben dan Jody.
Kenapa kalian berpikir tambahan unsur laga bisa works buat sekuel ketiga Filkop ini?
Angga: Perubahan genre ini memang bukan tanpa konteks ya. Ceritanya tetap berangkat dari masa lalu Ben dan Jody yang kita hadirkan di film sebelumnya.
Penonton Filkop 1 dan 2 tentu tau kalo Ben dulunya adalah anak petani yang juga aktivis. Ibunya tewas akibat konflik lahan di kampung halamannya.
Di film ke-3 ini kita coba mengeksplorasi latar belakang itu. Gimana Ben struggling saat pulang ke kampung halaman orangtuanya. Terus Jody, di Jakarta nungguin Ben buat ekspansi bisnis kopinya, mutusin buat mencari Ben yang hilang tanpa kabar. Di momen itulah dua karakter ini masuk ke situasi yang penuh adrenalin.
Chicco: Kita juga nggak mau genre shifting ini terkesan nggak organik. Kayak seakan Ben tiba-tiba berubah jadi kayak James Bond. Kita nggak mau kayak gitu. Tapi kalau ditanya apakah mereka yang belom nonton Filkop 1 & 2 bisa mengikuti alur cerita 'Ben & Jody'? Tentu bisa.