Follow Us

Mengintip Kehidupan Warga Sangihe: Punya Internet untuk Ngerjain PR Sekolah dan Jualan Parang Online

Al Sobry - Rabu, 15 Januari 2020 | 14:20
Kepala Desa Lenganeng, Hesky O. Sasundu sedang memperlihatkan jenis Parang adat Suku sangihe atau yang terkenal dengan nama Peda Sanger.
Josua Marunduh/National Geographic Indonesia

Kepala Desa Lenganeng, Hesky O. Sasundu sedang memperlihatkan jenis Parang adat Suku sangihe atau yang terkenal dengan nama Peda Sanger.

HAI-Online.com – Buat kita yang tinggal di kota besar, mungkin nggak perlu susah mendapatkan sinyal atau mengakses internet dengan kecepatan yang wah. nah, berbeda kejadiannya kalo kita mengunjungi daerah Sangihe di Sulawesi Utara.

Selain, perlu usaha keras untuk mengunjungi daerah tersebut, kedatangan kami juga harus dimulai dengan berangkat mengejar Kapal Motor (KM) Saint Mary sebelum matahari muncul. Yap, kapal ini yang bisa menghubungkan kami merapat ke Pelabuhan Tahuna di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara.

Dengan menempuh perjalanan selama 13 jam dari Pelabuhan Manado, akhirnya kami bisa juga melihat pemandangan di skeitar pelabuhan, di mana Puncak Pusunge terlihat bersama dengan aktivitas warganya.

Baca Juga: Cuma di Indonesia: 5 Razia Aneh yang Pernah Ada di Negeri +62

Kedatangan kami ke Tahuna untuk melihat budaya dan bentang alamnya. Sangihe adalah salah satu kabupaten terluar yang berada di Provinsi Sulawesi Utara, selain Miangas. Tepatnya, pulau ini berada di ujung utara yang berbatasan langsung dengan Filipina.

Saat ini, hampir semua masyakat Tahuna sudah bisa menikmati jaringan telekomunikasi via internet di gadget mereka. Alhasil, mereka bisa dengan mudah terhubung dengan daerah lain di seluruh Nusantara, melalui koneksi jaringan telepon dan internet.

Dengan begitu, potensi wisata, budaya, dan hasil laut mereka dapat segera “terjual”. Teknologi ini juga diharapkan berkontribusi pada pembangunan sumberdaya manusia dan pendidikannya.

Yah, meski kecepatan berinternet masih terbatas, fasilitas kekinian itu sangat dibutuhkan warga setempat.

Aktivitas penumpang serta bongkar muat barang di Pelabuhan Tahuna pada saat kapal berlabuh di Pelabuhan Tahuna, Kabupaten Kepulauan Sangihe
Josua Marunduh

Aktivitas penumpang serta bongkar muat barang di Pelabuhan Tahuna pada saat kapal berlabuh di Pelabuhan Tahuna, Kabupaten Kepulauan Sangihe

Lagi pula ini mausk ke dalam program pemerintah untuk membangun pinggiran dan menyatukan Indonesia. Salah satunya melalui pembangunan infrastruktur telekomunikasi jaringan tulang punggung pita lebar—Palapa Ring Timur, Palapa Ring Barat dan Palapa Ring Tengah.

Kini, setidaknya sudha ada 75 menara BTS terpasang di Sangihe, yang akan diperioritaskan kepada layanan publik seperti puskesmas, perbankan, sekolah, dan kantor desa.

Kondisi Jaringan Internet di Pulau Dekat Filipina?

Kami berbincang dengan Sekretaris Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Sangihe Kepulauan, Ellenita, E Kapal, di kantornya. Dia menceritakan kepada kami terkait kondisi jaringan telekomunikasi di Sangihe, termasuk Pulau Marore yang berada di sisi utara Kabupaten Kepulauan Sangihe. Pulau ini berada lebih dekat dengan Filipina.

Dari peta yang terpampang di dinding kantor Ellenita, ada titik-titik dalam peta yang menunjukkan daerah-daerah yang telah terkoneksi jaringan internet seperti di Kecamatan Kandahe, Tahuna Barat, Tahuna, Tahuna Timur, dan Tabukan Utara.

Peta itu juga memberikan informasi kawasan mana saja yang masih mengalami kesulitan sinyal seperti di Kecamatan Kendahe, Kecamatan Tabukan Selatan Selatan, Tabukan Selatan Tengah, Tabukan Selatan Tenggara, Kecamatan Manganitu Selatan dan beberapa daerah lainnya.

Heriman, 42, seorang pengepul ikan tangkapan nelayan mengakses internet menggunakan gawai  di Teluk Baruk, Sepempang, Natuna, Selasa, 8 Oktober 2019. Akses internet dimanfaatkan Heriman untuk bertukarkabar dengan nelayan di Sangihe, Sulawesi Utara. Selain itu, teknologi komunikasi juga dia gunakan u
Agoes Rudianto/National Geographic Indonesia

Heriman, 42, seorang pengepul ikan tangkapan nelayan mengakses internet menggunakan gawai di Teluk Baruk, Sepempang, Natuna, Selasa, 8 Oktober 2019. Akses internet dimanfaatkan Heriman untuk bertukarkabar dengan nelayan di Sangihe, Sulawesi Utara. Selain itu, teknologi komunikasi juga dia gunakan u

Ellenita juga membenarkan bahwa beberapa wilayah di Kepulauan Kabupaten Sangihe masih ada yang belum ada sama sekali memiliki jaringan internet. Duh!

“Memang sebelum masuk Palapa Ring, benar-benar belum memiliki jaringan,” kata Ellenita menjelaskan kondisi sebenarnya pada November tahun lalu.

“Harapan kami ke depan bahwa dengan adanya Palapa Ring ini akan bisa menjawab kebutuhan di beberapa wilayah.” jelasnya.

Dia pun menunjukkan wilayah yang ada di peta, yang betul-betul tidak memiliki jaringan dan betul-betul blank spot. Menurut Ellenita, sejumlah puskesmas dan sekolah juga sudah mendapat fasilitas jaringan wifi, bahkan mendapatkan pelebaran bandwith.

Baca Juga: Ngeri! Saking Parahnya, Asap Kebakaran Hutan di Australia Bisa Jangkau Seluruh Penjuru Bumi

Internet Sekolah di Sangihe?

Untuk beberapa sekolah yang disebutkan Ellenita, setidaknya internet dan kecepatan di sekolah ini cukup membantu proses pembelajaran warga didik di sekitar, bahkan untuk fasilitas ini pemerintah akan terus mengupayakan internet menjadi kebih cepat dan baik lagi pelayanannya.

Sebut saja kecepatan internet di SMPN 1 Tatoareng dari 1 Mbps menjadi 2 Mbps, SMPN 1 Tahuna dari 2 Mbps menjadi 3 Mbps, begitu juga dengan Mts Muhammadiyah Petta dari 2 Mbps menjadi 3 Mbps, dan SMKN 1 Tahuna 2 Mbps menjadi 3 Mbps.

Jaringan internet di SMKN 1 Tahuna, selain digunakan untuk kebutuhan sekolah dan Penyelenggara Ujian Nasional Berbasis Komputer UNBK, juga menjadi pilihan warga atau anak muda untuk mengakses internet gratis.

Sindi Parasala, salah seorang siswi kelas XII Jurusan Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ) SMK N 1 Tahuna bercerita tentang manfaat jaringan internet di sekolahnya.

“Sangat senang,” kata Sindi. “Dulunya kita ke warnet sekarang bisa main internet di sekolah dan memudahkan mencari tugas dari guru.”

Menurutnya, jaringan koneksi internet telah memudahkan dirinya dalam mengerjakan tugas. Apalagi apabila terdapat tugas dari guru yang harus diselesaikan pada hari itu juga.

Benhar Manoka (47) salah satu pandai besi di Desa Lenganeng, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Benhar bersama dua orang saudaranya rutin memproduksi parang setiapa harinya.

Benhar Manoka (47) salah satu pandai besi di Desa Lenganeng, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Benhar bersama dua orang saudaranya rutin memproduksi parang setiapa harinya.

Pada malam hari, saat kami melintas di sekitar sekolah, kami menyaksikan sejumlah remaja menggunakan fasilitas internet gratis. Mungkin mereka sedang mencari materi untuk menyelesaikan tugas sekolah atau sekadar bermain game online.

Sementara itu untuk lingkup pemerintahan Sangihe, Ellenita mengatakan hanya mendapat jatah 20 Mbps untuk dibagikan kepada seluruh bagian pemerintah kabupaten.

Ada Internet, Jualan Parang Online!

Dari Monumen Malahasa Tahuna, kami beranjak menempuh perjalanan sekitar tujuh kilometer ke arah pegunungan. Kami singgah di Desa Lenganeng. Kampung yang terkenal dengan para pandai besi atau tukang pembuat parang. Hampir 80 persen warganya berprofesi sebagai pengrajin parang.

Kami menjumpai Kapitalaung Lenganeng, Hesky O Sasundu. Kapitalaung adalah sebutan untuk kepala desa dalam bahasa Sangihe. Dia banyak menjelaskan jenis-jenis pisau dan parang.

Ternyata, banyak orang memesan parang di Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) yang dikelolanya—mulai dari Manado, Bitung, Ternate, Kalimantan, hingga Papua.

Kami juga berjumpa Yusmani Harindah, seorang bapak yang memiliki dua anak. Dia menceritakan kepada kami bagaimana perjuangan dia ketika awal membuat parang, berjalan kaki menjual parang dengan menyeberang pulau dan berjalan kaki.

Baca Juga: Ini Dia Alasan Ilmiah Kenapa Kita Bisa Kecanduan Menjelajah Internet

“Dulu saya jualan pisau menyeberang pakai kapal dan jalan kaki keliling pulau menjual parang,” kata Yusmani. Bahkan, kalau kita pergi menjual parang sampai satu bulan lamanya.”

Ia menceritakan, dirinya mulai bisa membuat pisau sejak kecil. Orangtua dan kakeknya pun dahulu adalah pembuat parang. Ia berharap dengan adanya jaringan telekomunikasi yang lebih baik supaya memudahkan dirinya untuk memasarkan parang bikinannya.

“Kadang, pagi jaringan ada, tapi sore sudah hilang lagi,” kata Yusmani. “Semoga dengan adanya jaringan telepon dan internet bisa dipertahankan dan ditambah, agar memudahkan kita untuk memasarkan parang, baik lewat Facebook atau Whatshap.”

Hesky O. Sasundu, Kepala Desa Lenganeng sedang memperlihatkan salah satu halaman mereka pada salah satu situs jejaring sosial yang digunakan untuk memasarkan produk kerajinan berupa parang yang menjadi produk andalan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES)  Desa Lenganeng.
Josua Marunduh/National Geographic Indonesia

Hesky O. Sasundu, Kepala Desa Lenganeng sedang memperlihatkan salah satu halaman mereka pada salah satu situs jejaring sosial yang digunakan untuk memasarkan produk kerajinan berupa parang yang menjadi produk andalan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Desa Lenganeng.

Masyarakat dan pemuda Lenganeng lebih memilih profesi sebagai pandai besi daripada menjadi buruh bangunan. Alasannya, penghasilan dari membuat parang lebih menjanjikan dibandingkan menjadi buruh.

Hesky O Sasundu mengatakan kepada kami bahwa dahulu orang yang mencari parang memesan kepada orang yang akan ke Sangihe, atau datang langsung ke Lenganeng.

“Saat ada jaringan telepon, dulu pembeli itu langsung menelpon, pas ada jaringan internet kita mulai menjual lewat Facebook, jenis-jenis pisau dan parang hingga alat pertukangan kita tinggal upload di Facebook. Semoga dengan adanya jaringan internet bisa lebih bagus lagi, karena pembeli selain Ternate, Papua juga sampai ke Jawa,” ungkapnya. (Yusuf Wahil)

Editor : Al Sobry

Baca Lainnya

Latest