Follow Us

Jazz Gunung Lahir dari Sebuah Perasaan Ada Sesuatu yang Hilang di Bromo

HAI Internship - Jumat, 21 Juni 2019 | 20:00
Djaduk Ferianto, Butet Kartaredja dan Sigit Pramono

Djaduk Ferianto, Butet Kartaredja dan Sigit Pramono

HAI-ONLINE.COM – Sekitar 12 tahun lalu Sigit Pramono menceritakan tentang Bromo kepada temannya, yaitu Idang Rasjidi yang merupakan seorang musisi Indonesia dan melihat ada sesuatu yang bisa dilakukan di sana, selain hanya menjadi tempat berwisata bagi para wisatawan.

Dari sana muncul ide untuk mengadakan acara musik jazz di Bromo, dan akhirnya setahun setelah itu lahirlah Jazz Gunung yang didukung oleh ide-ide dari Djaduk Ferianto, saudara dari Idang Rasjidi.

Dimulai dari acara yang cuma dilaksanakan di halaman hotel, dengan penonton membeli tiket namun pemain yang nggak dibayar, tiga tahun berikutnya barulah Jazz Gunung punya venue outdoor sendiri.

Baca Juga: Dengan Komposisi dan Harmoni, Jazz dikatakan Mengakomodasi Keberagaman

"Tetapi waktu itu yang ingin kita lakukan bukan hanya sekadar untuk bermain-main jazz, yang lebih penting lagi saat itu kita merasakan ada sesuatu yang hilang di Bromo waktu itu" ucap Sigit.

Sebuah perasaan itu datang ketika terjadinya beberapa peristiwa di Indonesia saat itu, seperti bom yang terjadi beberapa kali, lumpur lapindo dan sebagainya.

Dari sanalah muncul keinginan sang pelopor Sigit Pramono, Djaduk Ferianto, dan Butet Kertaredjasa untuk bisa menarik orang buat datang lagi ke Bromo, biar nggak datang cuma untuk menikmati keindahan alamnya, tapi juga dapat menikmati sajian musik jazz.

“Menyaksikan keindahan matahari terbit di Bromo, sambil menikmati Jazz Gunung. Bahkan sebaliknya, menikmati Jazz Gunung, bonusnya menyaksikan keindahan gunung Bromo” tambah Sigit.

Penulis: Nada Aprillia

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya

PROMOTED CONTENT

Latest