Follow Us

Menyelamatkan ODHA Dengan Berteman Baik Dengannya

Al Sobry, HAI Internship - Selasa, 01 Januari 2019 | 16:47
Menjadi Teman ODHA
iStockphoto

Menjadi Teman ODHA

HAI-Online.com – Camel nggak menyangka, seorang teman baiknya, sebut saja Ivanka (bukan nama sebenarnya), tiba-tiba mengaku terjangkit HIV. Sebagai teman, Camel tentu ikut merasa kaget, sedih sekaligus bingung juga harus berbuat apa?

Nggak bisa dipungkiri, kekhawatiran melanda Camel. Bukan karena takut tertular. Ia khawatir Ivanka merasa terpojok, sendirian, dan ngerasa nggak punya siapa-siapa lagi. Apalagi teman sekolahnya itu juga mengaku saat ini ia belum sanggup membuka statusnya pada keluarga. Kalau bukan Camel yang kuat, terus siapa lagi?

“Aku sempet nangis. Kaget,” katanya nggak menyangka penyakit mematikan itu justru menyerang teman yang sepengetahuannya nggak melakukan aktivitas berisiko HIV.

Dilihat dari pergaulannya, pergaulan Ivanka menurut Camel termasuk aman. Ivanka emang pacaran, tapi nggak pernah gonta-ganti.

“Selain anaknya berpendidikan dan (agak) tertutup, anak ini nggak pernah ganti-ganti pasangan. Dia hetero. Dia cuma sama satu orang doang,” jelasnya lagi kepada HAI.

Yang Camel takutkan terbukti, Ivanka jadi takut sama stigma orang-orang yang seakan siap menerkam emosinya yang sedang labil waktu itu dengan hinaan, cacian bahkan dikucilkan dalam pergaulan.

“Makanya dia cari-cari kegiatan di luar (negeri), jadi dia sekarang survive di sana (Singapura.red) untuk bertahan hidup dengan ODHA lainnya,” terang Camel lagi.

Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mengaku dirinya terjangkit itu perlu diberi respek dan dirangkul. Apalagi remaja, biar nggak kena stigma, hinaan, bahkan risiko diskriminasi_yang dialami banyak ODHA di Indonesia, membuat kebanyakan mereka memilih diam sementara virus terus menggerogoti kesehatannya.

Lantas, darimana para remaja ODHA ini bisa mendapatkan kekuatan untuk tetap menjalankan aktivitas kehidupannya jika bukan dari orang-orang terdekat, seperti teman atau pacar misalnya?

Baca Juga : Malu Tanya-Tanya Seputar HIV/AIDS? Ngobrol Sama Chat Bot Marlo Deh!

Banyak ODHA Remaja di Sekeliling Kita

Faktanya, HIV dimana-mana, nggak terkecuali di lingkungan kita, bisa jadi sebenarnya ada satu dua teman kita yang berstatus ODHA, meski mereka masih diam. Kita nggak perlu menanyakan secara detail bagaimana penyakit itu bisa menjangkitnya, karena bisa jadi mereka justru ngerasa terganggu kalau diminta cerita.

Yang jelas, data UNICEF menyebutkan senggaknya ada 30 remaja di dunia terinfeksi HIV setiap jam. Mereka berusia 15 hingga 19 tahun (laporan tahun 2017). Sementara data terbaru WHO (World Health Organization) nyebut, ada 2 juta remaja yang hidup dengan HIV. Remaja Indonesia terjangkit sekitar 150 ribuan (perMaret, 2018). Itu baru yang terjangkit HIV, belum lagi yang berstatus AIDS karena tertular dari jarum suntik narkoba, hubungan seksual dan keturunan misalnya, jika digabungkan bakal lebih banyak lagi.

“Temenku yang lain, ngaku ODHA bulan September 2018 lalu. Aku responnya biasa aja, aku coba support mereka sebagai teman baik. Cuma temenku ini nggak mau minum obat, makanya aku ikut khawatir juga,” curhat Camel menyebut satu masalah yang menerpanya.

Dia nggak mau kehilangan satu teman lagi karena masalah yang sama, yaitu HIV/AIDS. Kebetulan, pada tahun-tahun sebelumnya, Camel juga punya dua teman ODHA lain yang salah satunya sudah meninggal dunia.

“Pas tahu dia (teman ODHA pertama) meninggal, kaget makin takut (kehilangan teman), tapi yaudah aku jadi makin tahu betapa bahayanya HIV/AIDS. Apalagi kalau baru tahu terjangkit pas statusnya udah AIDS. Bahayanya bisa sampai segitu (bikin mati),” terangnya.

Jangan Buat ODHA Berasa Bersalah

Yang nggak banyak orang tahu, remaja yang terpapar HIV dan baru pertama kali tahu dirinya terjangkit HIV, bakal mendapatkan dua serangan. Pertama imun atau kekebalan tubuh mereka hancur, kedua perasaan mereka rapuh

Nggak heran, psikolog anak dan remaja, Ratih Ibrahim menyarankan remaja yang terkena HIV/AIDS untuk nggak merasa bersalah kepada diri sendiri dulu. Tahapan ini untuk mengumpulkan kekuatan mentalnya, dia harus percaya diri untuk berhasil mengatasi masalah hidupnya. Kedua, dia butuh seseorang untuk mendampinginya, seperti teman misalnya.

Ratih menyarankan kita untuk nggak perlu menyalahkan ODHA karena tertular HIV.

“Kita harus selalu ada untuknya dan bermanfaat untuk kelanjutan hidup teman kita itu,” kata Ratih Ibrahim, “Yang tahu penyakit ini lebih awal, bisa intervensi untuk (lakukan) terapinya sehingga bisa lebih efektif (pengobatannya).”

Mendampingi ODHA Berobat

“Temenku nggak mau minum obat, sekarang mereka cuma maunya kumpul (bareng ODHA) untuk menjaga mood dan pola hidup sehat, ngejalanin gym, dan olahraga yoga gitu bareng. Aku maunya temenku itu minum ARV,” kata Camel lebih lanjut soal Ivanka yang dikhawatirkannya.

Dia mencari informasi mengenai Anti-retroviral atau yang lebih dikenal sebagai ARV. Obat untuk penangkal virus HIV ke teman-teman ODHA lainnya.

“Aku bilang, ‘kamu nggak boleh takut, ada yang meninggal tapi ada yang bertahan hidup!’” ulasnya.

Kenali Baik-baik Penyakitnya, Bukan Serta-merta Menjauhinya

Seperti itulah yang dilakukan Camel kepada dua temannya yang ODHA. Tetap bersikap baik, wajar dan yang terpenting memberi manfaat ke teman yang membutuhkan.

Bagi Camel, penyakit apapun itu yang perlu dilakukan sebagai teman ODHA adalah kita mesti mengenal penyakit itu, gimana cara menanganinya, apa yang boleh dan tidak, sehingga segala yang bisa bikin kita panik jadi teratasi.

Well, di depan mereka aku harus kelihatan baik-baik aja, walaupun kadang worry juga. Worry-nya aku bukan karena takut tertular tapi kayak, duh temen gue gimana kalo nggak minum obat? Padahal aku kan nggak selalu ada di samping mereka,” terangnya.

Camel mengingatkan, teman ODHA itu juga mesti menjaga privacy, nama baik, dan jadi pendengar yang baik.

“Kadang, kalo solusi kan semua bisa menemukannya. Cuma kadang mereka juga ingin didengar, terutama saat down,” kata Camel

Sementara menurut psikolog Ratih Ibrahim, remaja ODHA harus terus melanjutkan hidupnya. Selain dengan melakukan pengobatan/therapy yang disiplin dan kembali menjaga pola hidup sehat, mereka juga kudu hebat mengejar masa depan.

“Yang terpenting harus ‘moving forward’ karena remaja memiliki perjalanan yang masih panjang. Jadi menjalankan hidupnya harus ‘to the fullest. To the fullest maksudnya apa? Satu, jadi bermakna buat dirinya, kedua buat keluarga, ketiga buat bangsanya,” jelas Ratih seakan memberi semangat.

Meski pada kenyataannya nggak segampang itu, ada lho teman ODHA, FH (19) yang terkena HIV saat menjadi mahasiswa. Meski belum cerita ke orangtua, dia terus memersiapkan dirinya untuk maju ke depan. Hidup normal, mempunyai teman dekat, minum obat, dan berkarya.

Setelah lulus kuliah, FH pun sanggup diterima kerja di perusahaan yang kini sanggup menopang hidup dan obat HIV-nya. (Fira/Sobri)

Editor : Rizki Ramadan

Baca Lainnya

Latest