HAI-ONLINE.COM – “Kami komunitas street punk Medan menolak SID,” ujar pemilik nama Ari “Jerinx” Astina, mengingat kembali selebaran yang beredar saat konsernya di Medan, beberapa tahun silam.
Waktu itu, 7 Oktober 2003. Trio Punk Rock asal Bali, Superman Is Dead (SID) dijadwalkan akan menghelat konser di area Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Rencananya, Jerinx cs. yang menjadi guest star malam itu bakal tampil di hadapan ribuan penonton yang memang sudah memadati area kampus.
SID tentunya menantikan moshing penuh irama, sampai ribuat orang yang tiba-tiba membentuk koor massal menyambut jagoan Pulau Dewata ini. Sayang. Apa yang mereka dapatkan jauh dari yang diharapkan.
Bukan teriakan penuh suka cita, SID justru mendapatkan teriakan penuh cacian dan kebencian. Itu belum seberapa. Puncaknya, band yang terbentuk sejak 1995 silam ini harus menghentikan konsernya di tengah jalan, tepatnya setelah lagu keenam, lantaran mendapatkan perlakuan nggak mengenakkan, yang berpotensi mengancam keselamatan Jerinx, Eka Rock, dan Bobby Kool di kota yang terkenal dengan makanan khas, bika ambonnya.
“Nah, saat manggung di Medan, kami dilemparin batu dan botol yang diisi sama air kencing. Saking chaos-nya, umbul-umbul sampai panggung dibakar juga,” kenang Jerinx.
‘Band Keliling’
Jauh sebelum mereka mendapatkan perlakuan nggak menyenangkan di Medan 2003 silam, band yang bermarkas di Poppies Lane II – Kuta ini sudah lebih dulu merasakan susahnya berjuang di industri ini.
Tahun 1995 silam, SID pertama kali terbentuk. Sama kayak anak band baru kebanyakan, tujuan mereka nge-band ya nggak jauh-jauh dari have fun.
“Waktu itu kami main musik buat nyari bir sama makan gratis aja. Cari banyak teman, sampai tukeran kaset sama kawan-kawan komunitas. Itu serunya!” imbuh pemilik clothing line Bali, Rumble.
Perjuangan SID makin berat lantaran saat itu scene musik yang ada nggak terlalu berkembang. Intinya, cari panggung yang membebaskan untuk membawakan lagu punk atau lagu sendiri terbilang sulit. Maklum, musik yang mereka mainkan bukan musik mainstream. Makanya jangan kaget, saat kita tahu debut pertama SID as a band justru mulai di sebuah panggung kampung. Serius?
Simak juga: Ternyata, Ini Dia 7 Rahasia Google Bikin Betah Para Karyawannya. Banyak Bonusnya!
“Hahaha…, iya serius. Pertama kali SID main di Bali, tuh, di sebuah ulang tahun banjar (sebutan kampung dalam bahasa Bali). Kalau nggak salah, itu tahun baru 1996. Kami masih cover lagu-lagu band kayak GreenDay, NOFX, sampai Bad Religion,” ujar Jerinx sambil menahan tawa.
Perjuangan nggak cuma di situ. Niat untuk ‘membumikan’ SID pun diikuti dengan semangat militan dari ketiga anggotanya. Mulai dari cetak album sampai mengirimkannya sendiri ke distro-distro di Bali, maupun luar Bali, jadi beberapa langkah yang ditempuh SID untuk mengenalkan musik punk rock yang mereka mainkan.
Namun sayang. Rencana tersebut nggak berbuah manis. Alasannya ya itu tadi, industrinya masih nggak berkembang. Alhasil, sistem titip-edar album di distro-distro malah membuat Jerinx dan kawan-kawan merugi. Katanya, sih, karena saat itu sistem distro yang ada belum sebagus sekarang. Maksudnya, Bli?
“Tahun 1998 kami udah mulai ke distro. Saya naik motor buat titip kaset ke distro-distro. Tapi, uang kami nggak pernah balik! Hahaha…, entah itu dicuri staff atau pemilik distro yang kabur. Intinya, barang habis, tapi uangnya nggak ada. Sebagian besar hasil kerjasama kami dengan distro mengecewakan,” keluh Jerinx.
Hasilnya jelas. Kaset yang (katanya) ludes terjual, tapi nggak diimbangi dengan pendapatan yang mumpuni membuat Jerinx cs. putar otak biar hobinya ini bisa survive, bahkan semakin terangkat. Terus, gimana caranya, Bli?
“Kami juga rugi. Independen, sih, independen. Tapi nggak bakal bisa survive kalau tiap titip edar di distro uang kami nggak balik. Itu sudah terjadi sampai belasan kali. Akhirnya, kami cari label yang mau ngurusin album kami. Dan kami sign up dengan Sony Music Entertainment Indonesia,” lanjutnya.
Dituduh Penghianat Sampai Rasis!
Yap. Sebagian besar orang (penggiat musik underground) saat itu menganggap bahwa apa yang dilakukan SID dengan bergabung ke major label adalah hal yang ‘diharamkan’ buat band yang punya semangat Do It Yourself ini. Maklum. Saat itu, SID jadi band punk rock pertama yang bekerjasama dengan major label, sekelas Sony.
“Awalnya kami dituduh sell out karena bekerjasama dengan Sony, dibilang keluar jalur. Mereka nggak paham kalau kerjasama ini dibuat atas kerjasama yang seimbang. Maksudnya, Sony nggak mengganggu proses atau ikut campur tentang berkesenian kami, atau apapun yang berurusan dengan band. Mereka cuma mencetak album kami dan mendistribusikannya. Itu saja,” imbuh cowok yang mengidolakan Elvis Presley ini.
Parahnya, seakan nggak cukup dengan tudingan ‘band penghianat punk’, trio yang terpengaruh dari permainan musik Green Day dan NOFX ini kembali diterpa isu nggak enak. Konon, isu kali ini menyerempet ke masalah yang lebih sensitif, yakni isu rasial!
Yap di tahun yang sama (2003), SID diisukan sebagai band rasis yang mendiskreditkan orang Jawa. Bentuknya adalah adanya tulisan F**K Java yang saat itu, (katanya) ada di dinding kantor SID, bahkan dalam bentuk tattoo di badan Jerinx.
Saking santernya isu ini dibicarakan, satu kejadian kembali menimpa SID saat menggelar konser di Jogja dan Surabaya. Lagi-lagi, mereka mendapatkan cacian, lemparan batu, sampai bogem mentah yang sempat mendarat di kepala Bobby Kool.
“Hahaha…, itu (isu F**K Java) nggak bener, kok. Cuma isu aja,” timpal Bobby singkat.
“Kejadian kayak gini berlangsung kalau nggak salah sampai 2006. Ya, kira-kira 3 tahun dan kejadiannya konstan,” sambung Jerinx.
Punk Rock, ‘Musik Untuk Semua’
Sampai satu saat, tepatnya pada 2009 lalu, tiga pemuda asli Bali ini berkesempatan untuk tampil di 16 kota di Amerika, dalam rangka tour ‘From bali With Rock’ dan ‘Warped Tour 2009’ pada 12 Juni sampai 9 Juli, enam tahun yang lalu.
“Bisa dibilang kami (SID) terobsesi denan itu (Warped Tour). Soalnya, Warped Tour bisa dibilang jadi kitabnya anak-anak punk rock, hardcore, dan hal yang berbau itu. Musik SID sendiri dari awal emang udah Punk Rock, bukan Pop Punk. Kalaupun ada unsur Rockabilly di lagu SID, itu cuma bentuk eksplorasi. Nah, kalau di Indonesia, Pop Punk dibawa sama Rocket Rockers dengan lirik ringan dan tampilan college punk atau pop punk,” timpal cowok yang juga punya band side project, Devildice.
Perjuangan mereka untuk ‘membumikan’ SID terbayar tuntas. Buktinya banyak. Basis penggemar yang kian menjamur di penjuru Indonesia, sampai beberapa penghargaan silih berganti mendatangi mereka kayak Grup Rock Terbaik dalam ajang Anugerah Musik Indonesia (AMI) Awards 2014 lalu bisa jadi bukti sahih sepak terjang SID di kancah musik Tanah Air.
“Hahaha…, sekarang fokus main di Indonesia aja. Udah capek, habis tenaga main di Indonesia. Sebulan konser bisa sampai lima kali, berapa kali naik pesawat, tuh. Hahaha…, capek,” tambah Jerinx bangga.
Well, nggak heran kalau kini mereka bangga dengan apa yang sudah didapat. Ya, setidaknya, lewat apa yang mereka perjuangkan hampir selama lebih kurang satu dekade lamanya, berhasil membuat imej punk nggak lagi identik dengan hal yang berbau negatif. Berkat merekalah musik Indonesia sukses dikenal sampai ke mancanegara. Dan berkat mereka jugalah, kini punk rock bukan cuma hiburan buat kalangan tertentu saja, tapi sudah jadi hiburan buat kita semua. Good job, bli!