Mundur ke tahun 1995 silam, seperti yang dibilang Tony Sruntul, skena olahraga extreme kayak skateboard masih belum banyak peminatnya. Itu sebabnya, di jaman itu, orang yang main skateboard bisa diitung pakai jari, itu-itu aja, plus, skatepark yang jumlahnya hanya ada dua se-Indonesia.
Maklum, selain terbatasnya referensi, menurut Tony, pikiran orang tua jaman dulu yang bilang skateboard nggak punya masa depan jadi salah satu penentu kenapa di jaman itu, skena ini nggak berkembang kayak sekarang.
“Jaman dulu, tuh, susah banget mau main skate. Terus, orangtua jaman dulu juga menganggap kalau skateboard nggak punya masa depan. Menurut mereka, kita lebih baik disuruh kerja biar dapat kerja yang enak. Hahaha…,” lanjut Tony.
Masalah nggak berhenti sampai di situ. Nyatanya, untuk menembus birokrasi pemerintahan, para skateboarder juga punya kesulitannya sendiri.
“Olahraga ini (skateboard) nggak dipandang, soalnya mereka masih nggak paham. Bayangin aja, sekitar 20 tahun, pertumbuhannya gitu-gitu aja,” kenang pemilik D’Sruntul Skate Shop.
‘Angin Segar’ Skateboarder Lokal
Skateboard menemani empat cabang olahraga lain, yakni selancar, baseball, surfing, karate, dan panjat tebing yang akan dipertandingkan di Olimpiade Tokyo 2020.
Nah, hal itu tentunya jadi angin segar buat para skateboarder lokal. Meski bukan olahraga populer, nyatanya skateboard punya peminat yang cukup besar.
Efeknya pun mulai terasa. Beberapa tahun belakangan ini, baik swasta dan pemerintah, keduanya saling membantu untuk menyediakan taman bermain buat para pegiat olahraga extreme.
“Perkembangannya pesat banget. Sampai saat ini, udah ada sekitar 50 skatepark di Indonesia,” ujar Tony.