Follow Us

Celaka Tapi Bangga, Mengapa Remaja Suka Skip Challenge dan Eraser Challenge?

Rizki Ramadan - Kamis, 30 Maret 2017 | 11:30
Eraser Challenge
Rizki Ramadan

Eraser Challenge

Kayaknya, anak muda emang nggak betah kalau main sesuatu yang biasa dan nggak mengandung bahaya. Belum lama lalu skip challenge jadi rame. Dan nggak lama berselang, eraser challenge muncul. Di tantangan satu ini, peserta menggosok-gosokkan penghapus ke kulit tangannya, ada yang sambil menyebutkan alfabet atau kalimat tertentu, ada juga yang sekedar menggosok. Di YouTube, sejumlah video muncul. Kalau skip challenge banyak dicoba oleh mereka yang remaja SMA, eraser challenge digemari mereka yang masih anak-anak level SD-SMP.

Penghapus digosok-gosokkan secepat mungkin ke tangan mereka sendiri sampai kulit lecet. Dan peserta nggak akan berhenti sampai ke titik perih yang nggak ia bisa tahan lagi.

Semakin parah luka lecetnya, semakin banggalah peserta. Video rekaman itu biasanya mereka upload ke YouTube atau media sosial lainnya. Teman-teman yang melihat pun akan saling berkomentar tentang seberapa parah luka lecetnya dan sekuat apa peserta menahan sakit. Tren berbahaya ini jadi marak dibicarakan netizen setelah pihak sekolah mendapati murid-muridnya memiliki jenis luka bakar yang sama. Lalu mereka mempublis foto luka-luka itu ke Facebook disertai dengan anjuran kepada para orang tua untuk mengawasi anak-anaknya.

Sebenernya tren eraser challenge ini sempat muncul pada 2012 dan di 2015 mulai merebak lagi, bahkan ada anak 13 tahun yang mesti dirawat di rumah sakit karena kuman dari penghapus yang menempel di kulit. Ia didiagnosis terkena Strep A Toxic Shock.

Seorang ahli medis dari USA juga mengatakan bahwa luka bakar akibat challenge ini berisiko menjadi gerbang masuknya bakteri

"Tiap kali kulit rusak, akan ada kemungkinan kulit akan terinfeksi. Kulit terbakar, entah itu dari panas atau cairan kimia, bisa merusak daya tahan kulit yang bertugas mencegah kotoran penyebab infeksi dan tumbuhnya bakteri," kata Angele Mattke, M.D di Community Pediatric and Adolescenet Medicine di Mayo Clinic kepada USA Today. Angele juga menyebutkan bahwa di beberapa kasus infeksi kulit itu menjadi makin serius parahnya.

Mengapa Remaja Suka Permainan Berisiko?

Ternyata anak-anak hingga remaja itu suka permainan yang berisiko. Berdasarkan sebuah penelitian, ternyata ini terjadi karena manusia, sebagaimana mamalia lainnya, belajar mengatasi ketakutan dan kemarahan dari perilaku berisiko itu. Ketika mereka gagal mengatasinya, maka permainan selesai.

Tim Elmore dari Artificial Maturity juga menyebutkan di Psychology Today bahwa ada bagian pada otak remaja yang selalu ingin menghadapi resiko dan signal menangkap bahaya merendah. Berdasarkan studi University College London, perilaku berisiko memang memuncak pada masa remaja. Mereka ingin menguji kekuatannya, menantang batas, nilai dan menemukan identitasnya.

Namun, Tim juga mengingatkan segala risiko yang diambil para remaja harus tetap sehat. Karenanya, remaja mesti bisa mengukur tingkat bahaya dari tantangan yang akan diambilnya. Selain itu, remaja juga mesti banyak-banyak menyimak cerita pengalaman mereka yang lebih dewasa tentang segala risiko yang pernah mereka lakukan di masa remaja.

Tantangan yang baik, seperti juga dikatakan Tim, akan berujung pada kebijaksaan. Yoi, bukan sekedar menuai celaka yang sia-sia.

Editor : Hai

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest