Kekerasan di Jogja terjadi lagi Minggu (12/3) kemarin. Nggak tanggung-tanggung, korban dari kejadian yang biasa disebut dengan istilah “klitih” ini tewas, padahal ia masih pelajar SMP. Masa depannya masih panjang, tapi riwayatnya udah harus tamat.
Barangkali kamu denger kejadian yang menewaskan Ilham Bayu Fajar –nama korban “klitih” tadi–, mungkin kamu dan kami, alias kita, bakalan langsung geleng-geleng kepala. Ia diserang oleh sekelompok orang yang nggak dikenal, ditusuk hingga menembus dada, dan nggak bisa diselamatkan. Nyawanya melayang, padahal nggak tau alasan penyerangan itu apa.
Sebelum ini, kejadian yang hampir serupa juga pernah menimpa 6 orang pelajar asal SMK N 1 Cangkringan. Beruntung, meski mereka menderita luka-luka akibat kena bacok, nggak ada satu orang pun yang tewas. Tapi tetep aja, dari hari ke hari, “klitih” seolah jadi momok yang nakutin buat warga Jogja. Kejadian udah banyak, korbannya pun juga nggak bisa dibilang sedikit.
Oktober silam, dalam rangka mencari informasi tentang kasus yang menimpa SMK N 1 Cangkringan itu, HAI sengaja berkunjung ke Polda Daerah Istimewa Yogyakarta dan bertemu dengan Kabid Humas yang menjabat saat itu, Kombes Pol Anny Pujiastuti.
Dalam 23 menit obrolan yang dilakukan di ruangannya, HAI berhasil mendapati satu keprihatinan dari seorang wanita yang mengemban profesi polisi, bahkan polisi wanita yang berasal dari Yogyakarta, sekaligus sosok seorang ibu.
“Peran orang tua, peran pendidik, lingkungan, pemerintah daerah, seharusnya bersama-sama menangani ini. Contohnya, kalau kita punya anak, kita harus mendidik, mengawasi,” bilang wanita yang telah mengabdikan dirinya selama lebih dari 30 tahun di institusi kepolisian ini.
Sebagai seorang ibu, wanita ini juga sebetulnya prihatin dengan banyak kejadian yang terjadi di Jogja. Bahkan, salah satu pelaku dari sebuah kasus yang sempat diajak ngobrol olehnya, mengaku kalo dia mutusin buat melakukan tindak kriminal hanya karena iseng belaka. Jawaban yang bikin miris, sekaligus bikin geregetan.
“Okelah sekarang era digital, tapi kita tetep harus menanamkan iman dan taqwa kita. Kita harus mem-filter, ada hal-hal yang harus kita adopsi, tapi ada juga yang nggak. Jangan semuanya kita adopsi. Sebagai generasi remaja, kita harus punya pemikiran yang cerdas, melihat lingkungannya. Faktor lingkungan itu sangat kuat mempengaruhi kita, kalo kita nggak kuat, nggak punya iman dan taqwa, bisa-bisa kita akan terjerumus,” beber polisi ini panjang lebar.
Dalam beberapa menit terakhir obrolan kami dengan ibu Anny, selain daripada membahas tentang kasus-kasus kriminal oleh remaja, ibu Anny juga memberikan sebuah pesan layaknya seorang ibu.
“Masa depan kita kan ada di pundak mereka. Kalo mereka nggak bisa cerdas menyikapi, nggak bijak, nggak mem-filter, iman dan taqwanya kurang, akan cepat sekali (terpengaruhnya). Kayak narkoba, narkoba masuknya gratis ke kita, akhirnya adiktif, bisa-bisa jadi pengedar, atau karena ketergantungan. Sampai apa, bisa-bisa sampai mencuri untuk mendapatkan barang itu. Iman dan taqwa lah itu yang paling bijak,” tukas ibu Anny, tegas nan keibuan.
Siap laksanakan? Siap, bu!