Apa yang dikeluhkan oleh guru sepertinya nggak pernah berakhir. Kesejahteraan yang didapat katanya belum cukup membuat wajah para guru sumringah. Mau nggak mau sebagian dari mereka mengeluhkan kurangnya kesejahteraan, alhasil kita yang disuruh ikut les berbiaya tambahan.
Klasik dan seperti nggak pernah berujung. Guru dahulu dan sekarang sama problemnya. Masih serupa, guru kerap mengeluh soal pendapatan. Ujung-ujungnya para pendidik itu banyak yang nyambi. Tak segan para guru melakukan pekerjaan sampingan atau usaha lainnya demi menutupi kebutuhan dapur keluarga. Potret tersebut seperti yang digambarkan oleh Iwan Fals lewat sosok Oemar Bakri, sang guru yang penuh pengabdian tapi bernasib alakadarnya.
Berbicara soal guru yang lantas tergambar adalah wajah letih, baju putih yang agak memudar dan sepatu hitam yang tidak lagi bercahaya. Kamu pasti akan terbelalak ketika mendengar kabar bahwa honor guru mengajar ada yang cuma 400 perak per jam. Ya, walau pun itu tahun 1990-an, tapi apa yang diterima oleh pendidik kala itu cukup terasa nelangsa. Karenanya wajar jika banyak guru yang tidak mau dituntut terlalu banyak soal pekerjaan. Bagaimana mau maju, jangankan untuk membeli buku, membeli pakaian saja jarang.
Ketidaknyamanan itu membuat gundah seorang guru dan memberanikan diri untuk menuliskan surat pembaca kepada salah satu harian nasional.
Pada tanggal 7 Oktober 1991 si pengirim surat menorehkan rasa kemalangannya itu pada rubrik khusus pembaca. Beliau merasa martabatnya terbanting karena gajinya hanya separuh dari yang diterima oleh kondektur bis.
Kondisi yang dialami guru memang ironis banget. Ya, guru digambarkan sebagai penyiap generasi penerus, pahlawan tanpa tanda jasa dan gelar mulia lainnya. Tapi di kehidupan nyata kesejahteraan guru yang menyiapkan generasi penerus itu masih terlupakan. Atau menurut perbandingan pendapatan yang diperoleh dan pekerjaan yang dilakukan sangat tidak memadai.
Buka Les Tambahan
Demi mencukupi kebutuhan, pada waktu itu hampir semua guru nggak canggung untuk mengajar pada lebih dari satu sekolah dan memberikan les tambahan kepada anak-anak didiknya.
Kegiatan tambahan itupun tak otomatis telah memberi jalan keluar.
Jangankan yang honorer, kehidupan guru yang sudah diangkat pegawai negeri pun tak begitu mengkilap betul. Kemudian, karena gambaran kesejahteraan yang suram tak heran kalau profesi guru tidak lagi menjadi pilihan utama.
Kalau ditawarkan kepada remaja soal jadi guru, banyak yang tidak mau. Sebab dilihat dari kondisi finansial kesejahteraan guru berbeda dengan pegawai negeri lainnya yang memiliki jenjang yang jelas. Artinya ada posisi yang dituju. Misalnya ada tingkat tertentu bisa memperoleh fasilitas kendaraan atau rumah. Sedangkan peluang guru menduduki jabatan tertentu sangat kecil.
Nggak mustahil, sejak awal sampai pensiun hanya jadi guru.