Follow Us

Lewat Tragedi Kanjuruhan, Dosen Sejarah Unesa Ungkap Akar Persoalan Sepak Bola Indonesia

Tanya Audriatika - Senin, 10 Oktober 2022 | 17:05
Lewat tragedi Kanjuruhan, Dosen Sejarah Unesa ungkap akar persoalan sepak bola Indonesia.
Dok. laman Unesa

Lewat tragedi Kanjuruhan, Dosen Sejarah Unesa ungkap akar persoalan sepak bola Indonesia.

HAI-Online.com - Lewat Tragedi Kanjuruhan yang terjadi beberapa waktu lalu, Dosen Sejarah Unesa, Rojil Nugroho Bayu Aji, S.Hum., MA., ungkap akar persoalan sepak bola Indonesia.

Melansir laman Unesa, Bayu menilai, ulasan soal keamanan, sistem pengamanan dan SOP gas air mata serta pitch invasion itu bagus untuk proses investigasi kuratif.

Soal sanksi yang diberikan misalnya kepada Arema FC, menurut Bayu itu justru nggak menyelesaikan permasalahan.

Ada dua problem besar dalam sepak bola Indonesia.

Pertama, permasalahan struktural dari sisi penegakan hukum misalnya dan bagaimana stakeholder sepak bola dalam mewujudkan regulasi yang tepat baik teknis maupun non-teknis pertandingan.

Faktor nonteknis nggak bisa diabaikan, karena gejolak atau konflik yang terjadi di dalam maupun di luar stadium seringkali dipicu hal-hal non-teknis.

“Apabila kompetisi dikelola dengan baik, kekecewaan atau konflik yang terjadi bisa terselesaikan,” ucap Bayu yang mengikuti perkembangan sejarah sepak bola dan suporter di Indonesia dan dunia itu.

Baca Juga: Kabar Terbaru Insiden Kanjuruhan, Polisi Sebut Pintu 12 Jadi Lokasi Paling Banyak Memakan Korban

Kedua, permasalahan cultural. Ini berkaitan dengan ‘tradisi’ dan situasi sosial kondisi suporter yang tentunya punya karakter yang berbeda-beda.

Perlu pemetaan dan penanganan yang tepat bagaimana suporter bertemu dengan tim klub atau suporter lain.

Dari aspek suporter, juga ada akar persoalan yang perlu dipotong rantainya. Suporter sendiri harus berani mengakui ‘kesalahan’ apabila melakukan tindakan negatif.

Selanjutnya, suporter harus berperan aktif dalam memutus rantai kekerasan verbal, membuang yel-yel, chant atau lagu yang mengandung unsur kekerasan di antaranya “dibunuh saja”, “gak iso moleh”, “nek kalah rusuh” dan seterusnya.

“Apa jadinya kalau chant dan lagu itu dinyanyikan secara terkoordinir seisi stadion, dinikmati, didengarkan anak-anak lalu ditiru? Kekerasan itu akan menumbuh,” ungkapnya.

Apabila ini terus dibiarkan bakal membentuk kesadaran kolektif bersama akan kekerasan dan membangkitkan rasa ‘kebencian’ antar suporter.

Ini jadi catatan penting suporter, klub sepak bola dan stakeholder untuk memutus kekerasan verbal atau simbolik.

“Sejauh ini, sudah ada suporter yang berhasil memutus rantai itu kemudian membuat lagu-lagu yang fokus mendukung timnya dengan lirik-lirik yang kreatif dan positif,” pungkasnya.

Karena itu yang bisa dilakukan ke depan yakni memperbaiki regulasi dan penerapannya di level struktural dan memperbaiki atau memutus rantai ‘kekerasan’ antar suporter di level kultural.

Baca Juga: Dewa 19 Cover Lagu Gadis Sexy Slank, Ari Lasso: Dulu D.E.W.A Pernah Bawain Lagu Ini 30 Tahun Lalu

Selain itu meningkatkan edukasi dan kesadaran akan pentingnya kultur sepak bola yang sehat dan menyenangkan.

Bayu berharap kejadian ini benar-benar jadi pembelajaran dan pembenahan bersama sehingga tragedi Kanjuruhan terjadi lagi ke depan dan iklim sepak bola Indonesia bisa naik kelas. (*)

Editor : Hai

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest