Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Masyarakat Indonesia Suka Minum Air Galon Isi Ulang tapi Ada Rencana Pelabelan BPA di Kemasan, Ini Dampaknya!

Al Sobry - Sabtu, 03 September 2022 | 09:25
Ciri air galon seperti ini sebaiknya tidak dibeli karena berbahaya bagi tubuh
SHUTTERSTOCK/LIGHTFIELD STUDIOS

Ciri air galon seperti ini sebaiknya tidak dibeli karena berbahaya bagi tubuh

HAI-Online.com– Tahukah kamu masyarakat kita sangat menyukai kepraktisan minum dari air dalam kemasan. Salah satu yang paling diminati adalah konsumsi air galon yang ketika kosong, kemasannya akan dapat ditukar untuk diisi ulang perusahaan minuman.
DilaporkanKetua Komisi Penegakan Regulasi Satgas Sampah Nawacita Indonesia, Asrul Hoesein setidaknya adasebesar 20 miliar liter per tahun konsumsi air galon di Indonesia. Jika rata-rata galon berisi 19 liter, maka lebih dari 1 miliar galon tersebar di seluruh Tanah Air.
Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) Galon dilaporkan Asrul juga dapat mengurangi solusi permasalahan sampah plastik untuk botol sekali pakai.
Namun sayang, ada Rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, khususnya pelabelan Biosphenol-A (BPA) pada Air Kemasan Galon. Isu yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini pun menuai kontroversi di beberapa ahli.
Banyak yang menilai, pelabelan BPA pada kemasan galon akan meneror konsumen sehingga ketakutan mengonsimsinya.
Rencana aturan ini, selain berpotensi menimbulkan mispersepsi, pelabelan BPA pada galon akan mendorong konsumen Air Kemasan Galon beralih mengonsumsi galon sekali pakai yang ujungnya menimbulkan dampak buruk ke lingkungan.
“Jika rencana peraturan ini diterapkan, BPOM akan membuka kotak pandora. Nanti akan ada (menyusul) pelabelan bebas kandungan logam berat, pelabelan cemaran kimia, cemaran mikroba, itu kotak pandora. Juga ribuan pelabelan untuk ribuan makanan kemasan di Indonesia,” kata Rachmat Hidayat, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia (ASPADIN) dalam acara Ngobrol Tempo, bertema “Polemik Revisi Label BPA: Manfaat VS Mudharat” yang digelar secara daring, Jumat (2/9/2022).
Dalam kesempatan tersebut Rachmat menegaskan, sejatinya pemerintah dan lembaga terkait termasuk BPOM telah memberikan keputusan yang menyebut bahwa air minum dalam kemasan dengan bahan polikarbonat telah aman dikonsumsi masyarakat.
Pada tahun 2020, lanjut Rachmat, BPOM juga menggelar penelitian selama lima tahun terkait batas migrasi pada galon PET maupun polikarbonat, yang dinyatakan masih di bawah batas aman.
“BPOM meneliti ratusan jenis kandungan kimia dalam ratusan jenis kemasan. BPA hanya salah satu kandungan dari ratusan kemasan itu. BPOM menemukan bahwa semua berada di bawah ambang batas 0,01 bagian per juta. Artinya 1/60 dari batas aman (0,6 bpj),” tegas Rachmat.
Untuk itu ia kembali mempertanyakan keputusan BPOM untuk menerbitkan revisi atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, yang akan mewajibkan label BPA pada kemasan galon guna ulang berbahan polikarbonat.
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Nugraha Edhi Suyatma, Dosen dan Peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center Institut Pertanian Bogor (IPB) mengemukakan, ia kurang sependapat dengan sisipan pasal 61 a dan b dalam revisi Peraturan BPOM No.18 tahun 2018, yang dikhawatirkan akan menimbulkan mispersepsi pada konsumen, seolah kemasan plastik lain di luar polikarbonat terkesan aman.
“Padahal BPA ada dimana-mana tidak hanya di polikarbonat (bagan dasar kemasan galon.red), ada juga BPA di kemasan kaleng, bahkan di botol bayi, itu juga harus dilabeli semua,” ujarnya.
Berdasarkan sebuah penelitian, kata Dr. Nugraha, kandungan BPA justru terbanyak ada pada kemasan makanan kaleng, dengan hampir 90 persen bahan enamel pada kaleng merupakan hasil polesan epoksi yang bahan bakunya adalah BPA.
Upaya menetapkan aturan label BPA menurutnya seperti membuat persepsi bahwa kemasan dengan label BPA free sudah aman.
“Padahal belum tentu. Karena dari PET juga memiliki risiko adanya kandungan lain, seperti acetaldehyde lalu etilen glikol, dan dietilen glikol,” paparnya. Acetaldehyde sendiri telah diakui mengandung unsur karsinogenik (pemicu kanker).
Ia pun menyampaikan kekhawatirannya jika rencana pelabelan ini tetap dilanjutkan, akan muncul praduga dari masyarakat bahwa BPOM mendukung salah satu pihak atau salah satu brand. “Mau tidak mau akan muncul situasi demikian,” imbuhnya.
Soal ini, Ketua Komisi Penegakan Regulasi Satgas Sampah Nawacita Indonesia, Asrul Hoesein menyebut ada hal krusial yang saat ini diabaikan, yakni penerapan Undang-Undang No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Undang-undang ini seharusnya diperkuat dengan peraturan pemerintah yang bisa mendorong penerapan Extended Producer Responsibility, sebuah aksi yang merupakan bagian dari tanggung jawab produsen.
Dikatakan Asrul, nggak heran kalo terjadi lompatan regulasi, yang langsung mengatur ke produk hukum turunannya, seperti rencana pelabelan BPOM inj
Ia sendiri menegaskan ketidaksetujuan adalanya pelabelan BPA ini yang nantinya akan meningkatkan penggunaan galon sekali pakai dan efeknya akan menambah timbunan sampah plastik di TPA.
“Bayangkan kalo pelabelan terjadi bakal ada ada 1 miliar galon sekali pakai yang terbuang dan jika dikalikan berat kemasan kosong AMDK galon seberat 799 gram, maka akan ada tambahan 70 ribu ton sampah plastik per tahun dari galon sekali pakai,” ujar Rachmat. (*)

Editor : Hai

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

x