Hal itu tentu lebih berbahaya karena bisa melukai orang lain.
Peristiwa tersebut menyebabkan delapan anak diringkus oleh petugas dari Polres Tegal dan diberi pembinaan.
Umi Azizah selaku Bupati Tegal turut prihatin dan meminta agar pengawasan dilakukan oleh semua pihak di lingkungan masing-masing.
”Kepada masyarakat agar mewaspadai hal-hal yang terindikasi tidak baik, apakah pencurian, tawuran, dan hal-hal lain yang meresahkan masyarakat. Para orangtua harus mewaspadai, ini menjadi kewajiban kita untuk melakukan kontrol dan antisipasi segala sesuatu yang menimbulkan keresahan masyarakat," ungkap Umi Azizah.
Sejalan dengan itu, Kepolisian di Kota Semarang maupun Tegal bertekad akan lebih gencar melakukan patroli di tempat dan jam yang rawan untuk menekan terjadinya tawuran sarung.
”Patroli siber juga akan kami lakukan karena selama ini tawuran itu bermula dari cekcok di media sosial. Trennya adalah, mereka saling berkomentar di suatu unggahan kemudian ada yang menantang, lalu bertemu untuk tawuran itu. Terkadang, mereka juga merekam bahkan melakukan siaran langsung di media sosial saat sedang tawuran untuk menunjukkan eksistensinya, ini berpotensi dicontoh kelompok lain," jelas Donny.
Terjadinya tarung sarung yang merupakan bagian dari tawuran ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tingginya tingkat emosional, kondisi psikis yang labil, dan dorongan dari luar (dendam antar kelompok).
”Secara umum, tawuran dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Karena saat ini momennya Ramadhan, mungkin mereka sedang menggunakan sarung itu untuk berpakaian. Dalam kondisi terdesak, mereka menggunakan sarung itu sebagai alat untuk mempertahankan diri sekaligus melumpuhkan lawannya,"ujar Fulia Aji Gustaman, Sosiolog Universitas Negeri Semarang.
(Ariella Kinari)