HAI-ONLINE.COM - Beberapa bulan silam Jerinx, drummer Superman Is Dead, kecewa berat. Lagu Sunset di Tanah Anarki (SDTA), menurut Jerinx, “ruhnya sudah terbunuh” setelah dinyanyikan Via Vallen.“Selama ini nyanyi SDTA apa ya yg ada di dalam kepalanya? Lagu ini pesannya besar, sungguh humanis, pun disampaikan dengan lirik dan video klip yg sangat literal. Wajar saya merasa mereka dengan sadar merendahkan substansi lagu ini atas nama popularitas semata. Itu sangat manipulatif dan menjijikkan,” kata JRX, saat itu, di akun Instagram-nya.Bukan cuma lagu sih sebenarnya. SDTA juga nama album studio kedelapan Superman Is Dead yang dirilis 2013 silam. Tema-tema lagu di album itu semuanya serupa. Berbagai permasalahan kronis yang selama ini menghantui pulau tempat mereka tumbuh dewasa, Bali, seakan tiba-tiba terpapar jelas di hadapan mereka. Menjadi bensin buat motor kreativitas mereka. Dan menjadi benang merah buat album tersebut.
Baca Juga: Cobain Nih Name Generator dari Motörhead, Bisa Dibikin Kaos Juga Lho!in“Ada rasa muak dari saya pribadi dan masyarakat Bali yang terus ditipu. Bukan hanya tentang pergerakan tolak reklamasi, tapi lebih dari itu. Mereka para ‘penguasa’ yang datang dengan kedok pengembangan pariwisata dan ekonomi menjadikan kami seperti sapi perah dan budak di tanah sendiri. Jika untuk mereka hal itu demi kemajuan, menurut saya itu adalah sebuah kemunduran,” bilang JRX dalam sebuah wawancara dengan HAI, 2013 silam. “Mereka itulah yang mau kami lawan. Para penguasa yang mau menghancurkan keindahan yang kita miliki,” kata Bobby dalam kesempatan yang sama. Dibuat seluruhnya di Studio Electro Hell Bali, dengan diiringi aliran adrenalin yang dipacu oleh situasi dan kondisi sekitar, trio ini menyelesaikan seluruh proses kreatif SdTA dalam waktu relatif singkat. Bahkan, menurut Bobby, ini adalah album yang masa pengerjaannya paling singkat dibanding album mereka terdahulu.
“Proses rekamannya hanya membutuhkan waktu satu bulan. Mungkin karena materinya sebagian besar sudah matang. Ada lagu yang ditulis sepuluh tahun lalu, dua minggu sebelumnya, bahkan ada yang ditulis dua jam sebelum rekaman,” lanjut pehobi MTB itu. Bertemakan perlawanan, toh nggak seluruh lagu dari ke-17 track yang ada di situ lantas bertensi tinggi. Baik dari segi aransemen maupun lirik. Bahkan bisa dibilang, ini adalah album paling puitis SID. JRX yang paling bertanggung jawab akan hal ini. Soalnya dialah yang kebagian porsi menulis lirik. Hasil pergaulannya dengan para sastrawan kontemporer Indonesia di beberapa kesempatan, terasa betul di sini. “Ada sedikit sisi soft spot di dalam diri saya pribadi untuk tulisan yang indah. Saya juga percaya sebuah revolusi dan pergerakan atau perjuangan jika dibungkus dengan bahasa yang indah akan tampak lebih kuat, karena kekuatan dan keindahan itu harus seimbang.
Unsur estetika yang ada juga menambahkan sisi keindahan tersebut. Entah itu sedang melawan sesuatu dan memukul, sesuatu yang dikemas dengan indah pasti akan lebih kuat,” jelas pemilik nama lengkap I Gede Ari Astina itu serius. Pemilik Rumble dan Twice Bar ini nggak menampik jika faktor usia juga turut berpengaruh dalam proses kreatifnya. Baik dalam pemilihan tema dan gaya lirisnya. “Dulu karena kami muda yang dominan kan urakannya. Sekarang sudah menginjak 30 sekian, serius itu pasti tapi urakannya sudah nggak bisa. Tapi ketika kalian nonton live, kami itu sangat fun. Dari dulu masih sama kok bercandanya. Hanya saja kini kami nggak mengedepankan bercanda. Kami sadar kalau SID lagi memerjuangkan sesuatu dan kami nggak mau bercanda untuk itu. Itulah konteksnya,” papar drummer yang juga frontman Devildice ini. Siratan dari apa yang dibilang JRX itu sebenarnya bisa langsung terlihat dari judul album. Nggak lagi memakai bahasa Inggris propagandis-sloganistis kayak sebagian besar album sebelumnya, kali ini mereka justru memilih bahasa ibu. Puitis, sekaligus ironis. “Ini (sebenarnya, RED.) adalah dua kata yang sangat berseberangan. ‘Sunset’ adalah simbolisasi untuk keindahan dalam hal ini Indonesia. Sedangkan ‘tanah anarki’, memperjelas kalau anarki bukan berarti kekacauan. Melainkan sebuah perlawanan dalam keadaan tertindas,” Eka, akhirnya angkat bicara.
Nah! “Yang hilang dari SID adalah usia,” ujar JRX. Dengan kata lain, dia mau bilang bahwa nggak ada yang berubah dari SID secara attitude. Sekarang dan dulu, lanjutnya, SID tetap menyuarakan perlawanan. Terhadap apa-apa saja yang membuat tidur mereka nggak nyenyak. Yang buat mereka merupakan manifestasi ketidakadilan. Baik buat mereka pribadi maupun masyarakat dan lingkungan di mana mereka hidup dan bernafas. Nggak kurang dari 23 tahun sudah SID berkarya. Dan selama itu pula, trio ini berjibaku mempertahankan sikap mereka. Sebuah konsistensi yang rasanya perlu dipahami, dihargai, syukur-syukur bisa ditiru. Setuju?