HAI-ONLINE.COM - Sebagai negara dengan populasi nomor tiga terbesar di dunia, Amerika Serikat jadi tempat pertemuan budaya yang beraneka ragam. Kebudayaan dan kesenian Indonesia jadi salah satu contohnya, sebagai topik yang banyak mendapat apresiasi bahkan dipelajari di berbagai sekolah, universitas dan institusi Amerika.
Bukan hal yang jarang lagi ketika bertemu dengan warga lokal Amerika yang mahir bermain gamelan, pandai menarikan tarian tradisional Indonesia, atau bisa menyanyi keroncong atau bahkan menyinden. Seniman asal Amerika, Megan Colleen O’Donoghue di Santa Cruz, California adalah salah satunya.
Dilansir dari voaindonesia.com, Megan menceritakan kisahnya hingga mahir karawitan.
“Waktu saya kuliah, saya ambil jurusan lagu seriosa di Seattle. Terus di sana ada gamelan Jawa. Saya jadi tertarik sekali sama gamelan di sana,” papar Megan Colleen O’Donoghue dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih.
Setelah lulus kuliah dari Cornish College of the Arts di Seattle tahun 2008, Megan memutuskan untuk mengikuti program Darmasiswa di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.
Program ini menawarkan beasiswa selama satu tahun kepada warga asing yang ingin mempelajari kebudayaan Indonesia. Pada waktu itu Megan menimba ilmu di Institut Seni Surakarta di Solo dan mengambil jurusan karawitan selama satu tahun.
“Kalo karawitan itu artinya kesenian gamelan begitu ya. Jadi ada seni suara seperti sindenan, ada gamelan seperti gong, saron, demung, gender, bonang, kendang, rebab begitu."
"Jadi kalo di ISI Surakarta kalo ambil jurusan karawitan semuanya harus belajar dulu,” jelas perempuan kelahiran tahun 1984 ini.
Selama di Solo, Megan tinggal bersama mendiang maestro sinden, Nyi Supadmi, yang juga adalah gurunya. Melalui interaksi dengan para murid yang juga kos di rumah mendiang Nyi Supadmi, perempuan multitalenta ini jadi bisa memperlancar kemampuannya berbahasa Indonesia.
Cek: Apakah Spoiler Bakal Merusak Keseruan Kita Nonton Film? Ini Jawabannya
“Pertama kali aku datang ke sana itu baru bisa apa ya, mohon maaf dan terima kasih. Gitu aja. Yang lain nggak bisa bicara,” ujar Megan sambil tertawa mengingatnya.
“Karena itu yang tadi anak-anak kos itu lho. Jadi mereka kan jauh lebih muda daripada saya. Mungkin sepuluh tahun. Jadi mereka masih seperti anak-anak gitu."
"Dan kalo terpaksa belajar bahasa, memang cepat sekali ya,” tambahnya lagi.
Usai mengikuti program Darmasiswa, Megan kemudian menikah dengan pemain keroncong asal Indonesia dan kembali menetap di Amerika selama dua tahun, sebelum akhirnya pindah lagi ke Indonesia pada tahun 2012.
“Saya, anak saya, dan mantan suami saya kembali ke Jawa selama empat tahun,” cerita Megan.
Waktu itu Megan kembali mendalami kesenian Indonesia lainnya, seperti wayang kulit, dan banyak melakukan pementasan dengan dalang-dalang kenamaan, seperti Ki Sujiwo Tejo, Ki Manteb Sudharsono dan Ki Enthus Susmono, di mana ia berperan sebagai pesinden.
Sewaktu ditanya apakah Megan bisa berbahasa Jawa, ia pun menjawab:
“Oh ya, dulu sedikit. Sekedik-sekedik mawon,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Sebagai pesinden, Megan mengaku nggak fasih berbahasa Jawa. Namun, latar belakangnya sebagai penyanyi membuatnya terbiasa menjiwai lagu-lagu bahasa asing, termasuk lagu-lagu dalam bahasa Jawa. Hal ini bisa terdengar dan terasa melalui teknik vokal dan cengkoknya ketika menyinden.
“Karena latar belakang saya memang penyanyi, jadi saya dari dulu belajar nyanyi dari banyak bahasa gitu. Jadi kalo lagu seriosa itu kan bahasa Inggris, Italia, Jerman, Perancis, Rusia, macam-macam begitu."
"Jadi memang kalo sudah begitu, telinga harus terbuka, harus peka. Bukan maksud saya, saya sudah bagus nyanyi dalam bahasa Jawa. Cuman memang hobi saya memang bahasa,” jelas penyanyi yang pernah berkolaborasi dengan penyanyi legendaris Titiek Puspa dan kelompok Sheila on 7 ini.
Darah seni memang sudah mendarah daging dalam tubuhnya. Ayah Megan yang adalah seorang musisi jadi inspirasi baginya untuk meniti karier sebagi penyanyi dan komposer.
Tahun 2015, ia merilis album perdananya yang bertajuk “Peshawar,” bersama kelompok musik Gemati di Indonesia. Album yang terdiri dari sembilan lagu ini mengambil nuansa musik rakyat ataufolk, keroncong, dan karawitan, dengan campuran lirik dalam bahasa Inggris, Indonesia, dan Jawa.
Lagu-lagunya yang antara lain berjudul “Ojo Ngoyo,” “Gulaku,” “Mumet,” dan “Kembang California,” dan “Berkah Indomaret” bercerita mengenai pengalamannya saat tinggal di Jawa Tengah dan juga saat tur keliling Indonesia bersama kelompok wayang kulit.
Tahun 2016 Megan memutuskan untuk kembali ke Amerika bersama putrinya. Ia mengaku sangat rindu akan makanan Indonesia.
“Sayur-sayuran aja itu enak sekali seperti oseng-oseng, tempe, yang ringan-ringan itu enak sekali, gado-gado, pecel, enak banget. Sampai sekarang anak saya juga belum begitu suka masakan Amerika, jadi setiap hari masih masak nasi untuk dia,” tambahnya dilansir dari laman voa indonesia.
Kini sehari-harinya Megan sibuk mengajar kelas vokal di Cabrillo College di Santa Cruz, California, di mana ia mengajarkan lagu seriosa, juga lagu-lagu Indonesia, Arab, dan Irlandia. Selain mengajar di kampus, Megan juga membuka kelas privat vokal dan piano di rumahnya.“Alhamdulillah, ya sibuk terus. Di sini murid tambah dan tambah terus,” ujarnya.
Murid-murid Megan pun sangat menghargai dan kagum dengan musik dari Indonesia, yang menurutnya sangat kaya rasa.
“Sebenarnya lagu Indonesia di Amerika banyak sekali yang suka, terutama gamelan ya. Di beberapa universitasacross Americagitu memang mereka punya gamelan Jawa, atau gamelan Bali atau gamelan Sunda. Jadi memang sudah banyak masyarakat Amerika yang tahu tentang musik Indonesia,” jelas penggemar lagu-lagu dangdut dari Rhoma Irama dan Elvy Sukaesih ini.
Rencananya melalui album ke-2 yang tengah digarap saat ini, Megan akan kembali menampilkan beragam nuansa musik.
"Lebih campur lagi rasanya, ada rasa Indonesia tapi ada rasa-rasa lain juga begitu," pungkas Megan.
Artikel ini telah tayang di Voaindonesia.com. Bacaartikel sumber