Alhasil, suhu permukaan tanah dari mayoritas tempat terpanas dalam data satelit Landsat jarang diukur secara langsung, seperti El Azizia yang sempat memegang rekor terpanas selama beberapa dekade.
Di sinilah keunggulan pengukuran suhu menggunakan satelit.
Memindai setiap titik yang ada di bumi, satelit mampu mengukur “temperatur kulit tanah” (LST) dan menunjukkan tingkat kepanasan dari sebuah parsel permukaan tanah akibat radiasi dari matahari, atmosfer, dan panas lainnya.
Sebaliknya, pengukuran suhu yang biasa dilakukan oleh stasiun cuaca adalah temperatur udara yang diambil beberapa meter di atas tanah.
Temperatur ini terpengaruh oleh naik turunnya massa udara di atmosfer, gerakan horizontal angin, dan kelembapan.
Untuk mencari LST tertinggi, Running, Mildrexler, dan Maosheng Zhao berfokus pada area-area yang gersang.
Mereka telah mengetahui bahwa LST terpanas kemungkinan besar terjadi ketika cuaca cerah, tanahnya kering, dan anginnya sedikit.
Lalu, komposisi permukaan tanah juga sangat menentukan. Tanah pada lokasi LST terpanas akan menyerap cahaya dengan sangat baik dan tidak memantulkannya kembali.
Dengan kata lain, lokasi tersebut tidak mengonduksi panas dengan baik.
Seluruh karakteristik ini, didukung oleh data dari satelit Landsat, menunjuk kepada Gurun Lut yang permukaannya ditutupi oleh kerikil hitam, padang semak kerdil di Queensland, Australia, dan Pegunungan Flaming di China.
Gurun Lut terekam memiliki suhu terpanas pada tahun 2004, 2005, 2006, 2007, dan 2009; sedangkan padang semak kerdil di Queensland mencapai suhu 69,3 derajat celcius (peringkat kedua terpanas) pada tahun 2003.
Pada 2008, lembah Turpan di Pengunungan Flaming mencapai 66,8 derajat celcius. (Shierine Wangsa Wibawa)