Mars memiliki pelapukan terbatas dibandingkan dengan bumi. Meski itu berari butiran tanah Mars memiliki tepi tajam yang bisa membahayakan saluran pencernaan cacing tanah.
Untuk mengetahui khasiat penambahan, tim menyiapkan beberapa pot yang ditanami dengan rucola. Mereka membandingkan tanah Mars dengan pasir perak yang berbasis kuarsa, digunakan untuk berkebun di bumi untuk aerasi tanah.
Kemudian pot-pot tersebut ditambahi pupuk kandang dan cacing tanah. "Efek positif dari penambahan pupuk tidak terduga," kata Wamelink.
"Tapi kami terkejut bahwa ini membuat tanah simulasi Mars mengungguli pasir perak bumi," imbuhnya.
Namun, ada hambatan signifikan lainnya untuk menanam tanaman di Mars. Mereka membutuhkan lingkungan yang dikontrol iklim agar tidak membeku di udara yang sangat dingin, seperti di Mars.
Selain itu, dibutuhkan air cair dan semacam pelindung untuk melindungi tanaman dari radiasi di permukaan Mars karena kurangnya medang magnet global.
Kedua hal tersebut bisa dilakukan dengan rumah kaca, tapi masalahnya rumah kaca sangat berat. Mars mendapat sekitar 60 persen dari jumlah berat bumi. Ini berarti, tanaman di Mars akan tumbuh sekitar 60 persen lebih besar daripada tanaman di bumi.
Untuk mengatasi masalah tersebut, peneliti dari Utah State University telah bekerja sama dengan NASA untuk mengembangkan sistem serat optik untuk menghasilkan cahaya bagi tanaman yang sedang tumbuh.
Sementara itu, Wamelink dan koleganya telah menentukan bahwa sayuran yang tumbuh pada tanah simulasi Mars yang kaya logam padat ini aman dikonsumsi.
Di masa depan, Wamelink ingin melakukan tes untuk mengetahui pengaruh tingkat perklorat Mars yang tinggi pada sayuran. Apalagi, diketahui bahwa tanah di Mars mengandung senyawa klorin yang bisa menjadi racun bagi manusia.
Tim ini belum mempublikasikan penelitian mereka. Sementara itu, Anda bisa mengetahui tentang proyek mereka dan melihat-lihat di situs Worms for Mars.
Semangat terus, deh, buat Om dan Bapak peneliti, semoga makin banyak kemajuan dalam kerja keras kalian meneliti Mars.