HAI-online.com - Setiap bulannya, Dio (18) Jakarta Timur dapat jatah uang jajan Rp 400 ribu dari ortunya.
“Itu udah bersih sama jajan di akhir pekan dan jalan,” kata Dio.
Jarang ada ceritanya tuh Dio dapat pesangon tambahan lagi, kecuali ada kebutuhan mendesak yang berhubungan dengan sekolah kayak uang untuk patungan kelas, atau Dio mesti menuju tempat yang ongkos transportasinya emang gede.
“Kalau mau ke kantor HAI, gue biasanya minta uang lagi, sih,” papar cowok yang tinggaldi Bekasi ini. Sekedar info, kantor HAI tuh ada di Kebun Jeruk Jakarta Barat.
Dengan uang jajannya itu, Dio ngaku paling sering mengalokasikannya untuk apa yang dia sebut sebagai jajan digital.
“Jajan gue lebih ke digital. Gue beli album di iTunes, langganan Spotify, langganan Netflix,” aku Dio.
Tiap bulan, Dio menggelontorkan uang Rp 50 ribu untuk langganan Spotify. Lalu, tiap Netflix lagi punya on-going series yang menarik baginya, Dio siap langganan dengan biayanya yang Rp 109 ribu itu.
Dua sohibnya, Nabyl dan Rifqi sering banget ngajak Dio hunting CD musik. Ketiganya punya selera musik yang nggak jauh beda. Tapi, sejak kenal iTunes dan kemudian Spotify, Dio jadi mager (malas gerak) tiap diajak Nabyl dan Rifqi.
“Gue memutuskan untuk beli di iTunes store pada awalnya," papar si tech geek yang juga suka menulis ini, "terus datanglah Spotify ke Indonesia. Senengnya bukan main gue saat itu, karena akhirnya gue nggak harus beli per-album. Yaudah lah tuh gua langganan Spotify terus over and over dari awal peluncuran sampe sekarang.”
Kalian bisa mengiria-ngira sendiri berapa uang yang kudu dianggarkan Dio untuk jajan-jajan digitalnya tiap bulannya. Nah, heran kan tuh, gimana caranya Dio bersiasat dengan uang jajannya?
Ternyata, siasatnya cuma satu. Dio bilang,
Iya sih, semurah-murahnya jajanan di sekolah, lebih enak masakan gratis dari mamah. Hehe. Nikmatnya nggak akan bisa terbeli.“Gue selalu usahain bawa bekal dari rumah setiap hari.”
Pola konsumsi Dio ternyata nggak jauh beda dengan Dzabi (18) dari Jakarta Selatan. Bahkan Dzabi tegas cerita bahwa uang yang dihabiskannya dalam sehari tuh, “Nol rupiah!”
“Ah, ngibul lu yah?!” tanya HAI kaget.
“Wkwkwk. Sumpah! Gue kalau di sekolah nggak pernah jajan. Uang jajan gue nggak pernah gue pake di sekolah. Gue selalu bawa bekal dari rumah.”
Padahal, Dzabi lanjut cerita, tiap bulan saldo rekeningnya selalu bertambah Rp 750 ribu hasil kiriman dari neneknya. Eits, itu belum sama bonusnya.
“Kalau dirata-rata gue dapet sejokut dalam sebulan,” repet si anak band ini.
“Terus duit jajan lo dipake untuk apa?”
“Paling rutin sih gue jajan CD. Minimal satu CD perbulan, tapi kalau lagi ada yang menggiurkan bisa beli dua. Ada tiga tempat langganan gue, toko CD di mal Kalibata, Pasar Santa sama beli di online shop Yogya, @rilisanfisik.”
Jajanan Dzabi juga nggak cuma yang berwujud dan tahan lama, melainkan juga yang bisa sekali seruput habis. Ya, Dzabi suka kongkow sama teman-temannya atau ehem, sama pacar barunya, di tempat yang ia sebut sebagai warkop fancy. “3K Coffee di Kemang tuh paling asik. Kalau lagi nge-borju suka beli kue-kue juga, habis Rp 100 ribu, kalau kopi aja biasanya sih Rp 35 atau Rp 50 ribu.” (BACA:Buat Nambah Uang Jajan, Ini 5 Profesi yang Bisa Lo Lakuin Sambil Kuliah)
Menabung Untuk Jalan-Jalan dan Tambah Koleksian
Menurut survei HAI kepada para pelajar SMA, ketauan tuh, ternyata emang uang jajan yang dikasih ortu cuma sebagian aja yang dipakai untuk kebutuhan utama di sekolah kayak makan dan transportasi.
Dari 207 responden, 41% responden ngaku menghabiskan 3/4, 17% menghabiskan setengah, dan hanya 22% yang menghabiskan semua uang jajannya di sekolah.
Terus, sisa uang jajannya lari ke mana tuh? Ditabung atau….?
“Gue bukan nabung, sih. Lebih tepatnya, menimbun uang di rekening,” kata Dzabi. Ke anggaran jajan barang koleksian lah timbunan sisa uang jajan Dzabi paling sering bermuara kemudian.
Dan tentu juga, selama pintu ajaib masih cuma dimiliki sama Doraemon, untuk menuju tempat-tempat indah dan Instagramable itu kita perlu menabung demi ongkos perjalanannya.
Adzkia misalnya, siswi sekolah negeri bilangan Tebet. Tiap sekolah, doi dikasih ongkos Rp 75 ribu sama ortunya. Tapi yang terpakai untuk makan di sekolah hanya Rp 20 ribu. Sisanya, masuk ke rekeningnya, lalu ada yang berpindah ke rekening online shop penjaja outfit yang tiba-tiba ia temui dan sukai, baru deh lebihnya ia biarkan mendekam di rekening. Ia juga mengajak teman-temannya untuk menabung juga agar saat liburan nanti, mereka bisa berlibur bersama. Adzkia sudah pernah jalan-jalan ke kota Bogor, ke Puncak, Bukit Moko di Bandung, dan pernah juga ke nyebrang ke Pulau Harapan.
“Kadang-kadang minta tambahan (uang), kadang kalau ngerasa cukup nggak minta lagi. Paling dikasih ongkos aja (sama ortu),” kata cewek yang pengen juga mencicip keindahan pulau Pari. (BACA:Mereka Yang Bawa Mobil Mewah Ke Sekolah)
Pentingnya Menahan Diri
Bayangkan jika kamu mendapat tantangan gampang-gampang susah seperti ini:Pada tahun 1960-an, Walter Mischel, professor dari Universitas Stanford bikin tantangan serupa. Bedanya, yang dia suguhkan hanya marshmallow. Kalau bisa sabar peserta bakal dikasih dua marshmallow.Kamu diminta menunggu sambil disuguhkan nasi padang tapi cuma pakai kuah dan daun singkong saja.
“Kalau kamu mau menunggu 20 menit, kamu bisa mendapat gulai ayam, plus kerupuk kulit. Kamu boleh saja memakan nasi itu lebih dulu, tapi nanti lauk ini akan diberikan ke orang lain,” kata si penantang.
Apa yang akan kamu pilih?
Nyatanya, hanya beberapa peserta saja yang bisa bersabar. Sisanya, nggak tahan pengin memakannya. Bahkan ada yang udah memakannya di dua menit pertama. Nyam
Tantangan ini kemudian menghasilkan teori delayed gratification alias kepuasan yang ditunda. Selama bertahun-tahun Prof Michel mengikuti perkembangan hidup para peserta. Terbukti, mereka yang sabar menunda kepuasaanya menjalani hidup yang baik nan sejahtera.
“Oleh karena itu,” kata Lutfi T Rizki, financial planner. menyimpulkan ceritanya tentang tantangan itu,”Kita harus bisa menahan diri demi menyisihkan sebagian uang saku.”
Konsumsi remaja tuh kian meningkat. Dengan gaya hidup, remaja juga punya status-status sosial yang ingin dipanjat. Allais Quart lewat bukunya Belanja sampai Mati, melaporkan bahwa sekarang ini brand besar dunia suka menyasar remaja sebagai target pasarnya. Tak elak, label brand-minded pun nggak cuma bisa nempel di kalangan orang dewasa saja tetapi juga di benak kita yang diem-diem ngerasa uring-uringan kalau belum punya ransel Jansport.
“Sekarang, karena internet, segala akses informasi terbuka. Godaan (untuk belanja) makin besar. Apalagi cara pembayarannya makin gampang. Kalau remaja kurang edukasi tentang keuangan, bisa berantakan,” lanjut Lutfi
Edukasi yang dimaksud adalah tentang perencanaan keuangan. Pertama-tama, menurut Lutfi, kita sebagai anak sekolahan mesti tau apa bedanya uang jajan dan uang saku.
Poin penting tuh, sebaiknya kita tuh mintanya uang jajan bulanan saja. Biar lebih enak merencanakan pengeluaran dan tabungan.
Terus, walau masih remaja, Lutfi sangat menyarankan untuk kita sudah punya rencana jangka panjang tentang keuangan. Jangan kebiasaan tiba-tiba jajan barang-barang, padahal kita nggak butuh-butuh amat, bro.
Sebagai latihan, kita bisa nyoba untuk punya tujuan atau resolusi. Jika kita pengin plesir ke Raja Ampat misalnya, maka abaikanlah posting Instagram band favorit lo yang mengumumkan merchandise barunya.
Dalam perencanaan, kemampuan untuk menahan diri itu sangat diperlukan.
Kita harus bisa berpikir kritis, bijak memilih, dan mengambil keputusan. Jangan terbiasa instan, dan berpikir apa yang kita lihat, apa yang ingin harus kita dapat.
“Hidup adalah rangkaian keputusan finansial,” tegas Lutfi.