Follow Us

Mengenal Filter Bubble, Cara Internet Mempersempit Wawasan Kita.

Rizki Ramadan - Sabtu, 21 Oktober 2017 | 07:00
Ilustrasi Filter Bubble
Rizki Ramadan

Ilustrasi Filter Bubble

"Masalahnya," kata Eli saat presentasi di TedX, "Kamu nggak menentukan (informasi) apa yang masuk. Dan yang lebih penting lagi, kamu nggak melihat (informasi) apa yang disunting keluar (oleh algoritma medsos kayak Fb)."

Suatu waktu, Mark Zuckerberg memberi jawaban ke pada para wartawan tentang cara kerja algoritma di news feed FB dengan satu kalimat sakti, "Seekor tupai yang sekarat di depan rumahmu akan lebih menarik perhatianmu sekarang ini dibanding orang yang sekarat di Afrika."

Kesesuaian. Relevansi. Kesukaan. Itulah prinsip yang dipake media sosial dalam menyuguhkan informasi untuk kita. Dan ini bukan dilakukan oleh Facebook saja. Instagram juga mulai melakukannya. Urutan gambar yang disajikan di timeline bukan lagi berdasarkan kapan gambar tersebut di-post, melainkan berdasarkan seberapa banyak temen-temen kita nge-likes.

Bagaimana dengan Google? Sudah tentu, mbah Google melakukan strategi ini juga. Mau buktinya? coba deh ajak temenmu yang suka sepakbola dan temenmu yang suka JKT48 mencari kata kunci "Haruka" atau "Jepang". Pasti, hasil pencarian di halaman pertamanya bakal beda-beda.

Menurut penelusuran Ali Praiser, ada 57 faktor yang menentukan hasil pencarian kita di Google. Beberapa di antaranya adalah komputer apa yang kita pakai, browser apa yang kita gunakan, lokasi kita berada, dll.

Setiap media sosial dan mesin pencarian pengen jadi yang (seolah) paling mengerti users-nya, mereka mencatat jejak kita, segala posting yang kita suka, kata kunci yang pernah kita cari, jenis berita yang sering kita buka, dan sesiapa yang kita pernah stalk dan follow. Dari data-data itu, mereka mengkategorikan kita. "Oh, si Roki tuh tipe orang liberal. Oh, temennya tuh tipe konservatif."

Jelas saja Roki nggak bakal bertemu dengan artikel-artikel yang di-share sama temennya itu. Karena, Roki nggak menyukainya. Jadi Facebook nggak memasukkan posting temenannya itu ke filter bubblenya Roki. Ya, kamu boleh menganggap ini sebagai cara media sosial menciptakan zona nyaman dalam pencarian informasi. Biar kita makin seneng membuka medsos itu. Terbukti, PEW Research, 61% generasi milenial mencari berita politik dan pemerintahan itu dari Facebook.

Konsekuensi Zona Nyaman Informasi.

Sebenernya, filter-memfilter informasi juga dilakukan sama media konvensional kayak koran, televisi, atau media online. Tiap media itu punya editor atau bisa disebut gatekeeper. Mereka menyeleksi peristiwa apa yang perlu dibaca, lalu mengedit artikel, baru menayangkannya.

Nah, bedanya, di media sosial atau search engine, filter-memfilter atau gatekeeping itu dilakukan berdasarkan algoritma. Pun, dilakukan oleh mesin. Mesin, kan, nggak (atau belum?) belajar tentang etika penyajian informasi, kaidah jurnalitsik dan pembentukan wacana publik.

Kalau cuma nikmatin informasi hasil filter dari algoritma media sosial doang, berita yang kita baca bakal yang tentang itu-itu melulu dan dari perspektif itu-itu aja. Bukankah yang kayak gini berpotensi bikin kita jadi berpemikiran tertutup yah, dan bahkan bisa jadi ekstrimis yang ngerasa kita paling eksklusif sehingga merendahkan mereka yang lain?

Singkatnya, kita jangan nerima-nerima aja kenyamanan dari filter bubble. Pastikan informasi yang kita baca bukan hanya yang relevan dan kita suka. "Kita perlu memastikan bahwa internet juga menunjukkan hal-hal yang bikin nggak nyaman atau menantang, atau penting," kata Eli lagi. Ya, kita perlu tau banyak informasi dan banyak sudut pandang sebelum mengambil keputusan.

Editor : Hai

Baca Lainnya

PROMOTED CONTENT

Latest