Semalam, terjadi peledakan bom bunuh diri di sekitar terminal Kampung Melayu. Aksi teror ini kemudian nggak hanya terjadi di lokasi saja, tetapi juga menyebar ke internet. Banyak banget yang share foto dari TKP, bahkan nggak sedikit ada yang nekat share foto bagian tubuh korban.
Kita yang nggak ada di TKP pun jadi ikut panik dan cemas. Selain membicarakannya dengan siapapun yang ada di sekitar, kita juga langsung mencari-cari informasi paling update dari berbagai media.
Nah, di era banjir informasi ini, kecemasan kita saat mengonsumi berita bencana bisa nggak terarah. Karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Justito Adiprasetio, dosen Jurnalistik Universitas Padjadjaran bilang, media apapun bisa kita buka dan baca-baca ketika ada bencana. Entah itu media mainstream, atau pun laporan citizen journalism oleh saksi mata. Laporan dari warga, sering kali lebih cepat menyebar. Tapi, tetap ada konsekuensinya.
"Laporan warga itu cepat dan bisa membuat orang segera waspada, tapi juga bisa menciptakan chaos. Banyak kejadian warga terselamatkan karena cepatnya informasi yang disebarkan antar warga ini, tapi ada juga yang punya implikasi buruk," kata Justito
Jadi, yang penting adalah kita mesti paham dulu tentang pembingkaian berita bencana itu. Kita mesti paham bedanya news dan views (pendapat). Menurut Justito, keduanya sering dicampuradukkan.
"Ada beda yang jelas antara kesaksian dengan penilaian atas kejadian. Keduanya saat ini tercampur-campur, kejadiannya baru beberapa jam, tapi sudah dianalisis penyebabnya, lalu banyak yang mengamini-nya ramai-ramai," papar dosen 28 tahun ini.
Segala informasi dan laporan yang kita terima dari media itu memang berdasarkan kejadian nyata, tapi pasti ada kemungkinan informasi yang disampaikan nggak benar-benar sama. Ada biasnya.
"Untuk itu, perlu kehati-hatian, kalau memang ada informasi yangg masih simpang siur, jangan dicerna sebagai kebenaran, apalagi direproduksi dan disebarkan. Verifikasi adalah hal penting," kata Justito.