Follow Us

Mengenal Hacktivisme. Aksi Nge-Hack Demi Menyuarakan Protes dan Membela Kebenaran

Rizki Ramadan - Kamis, 11 Mei 2017 | 12:25
Hactivisme
Rizki Ramadan

Hactivisme

Tahun ini, kita mengenal dua cara baru dalam menyuarakan gagasan selain di status medsos. Pertama, mengirim karangan bunga. Kedua, nge-hack situs resmi perusahaan atau instansi besar.

Cara yang kedua adalah cara yang paling baru namun mendadak masif. Dalam sebulan ini saja, sudah ada empat kabar peretasan situs. Pertama, situs penyedia provider Telkomsel, pesan yang disampaikan hacker adalah protes tentang mahalnya tarif provider merah tersebut.

Kasus kedua, ketiga, dan keempat punya satu tema pun dilakukan di hari yang sama, 10 Mei 2017. Laman depan Situs PN-Negara, media online nasional Tempo.co, dan situs SBMPTN.ac.id memuat pesan tentang harapan pembebasan Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, yang ditahan setelah vonis penjara 2 tahun atas kasus penistaan agama.

Kalau dilihat dari aksinya, nggak ada keuntungan ekonomi yang disasar para hacker ini. Mereka juga nggak membajak transaksi uang di situs lalu memindahkannya ke rekening mereka. Yang mereka lalukan persis seperti yang dilakukan street artist macam Bansky di tembok-tembok kota: numpang menyuarakan protes di situs yang sudah terkenal.

Aksi vandalisme di “tembok” maya instansi besar ini biasa disebut hacktivisme. Asal katanya sudah jelas, aktivisme dan hacking dijadikan satu.

Kalau ditilik sejarahnya, sebenernya hacktivisme pertama kali muncul sejak 3 dekade lalu. Kasus pertama yang bisa dibilang paling menghebohkan terjadi pada tahun 1980-an. Saat itu sekelompok aktivis di Australia menolak serangan nuklir. Mereka bikin gerakan bernama Worms Against Nuclear Killer (WANK) yang kemudian menyerang jaringan National Aeronautics and Space Administration dan Department Energi AS untuk protes peluncuran wahana yang membawa radioaktif jenis plutonium

Kasus besar selanjutnya terjadi pada 1996. Para hacktivist—hacker yang menyuarakan protes—menyerang laman depan situs United States Department of Justice. Mereka mengganti tampilan dengan tulisan: “Department of Injustice” (departemen ketidakadilan) dan mengimbuhinya dengan gambar porno demi mencuri atensi sekaligus meledek Communication Decency Act, kebijakan baru pemerintah AS saat itu untuk mengatur konten porno di internet.

Nggak lama setelahnya, di tahun itu juga, istilah hacktivisme diciptakan oleh sebuah organisasi para peretas dan pejuang hak asasi manusia bernama Cult of The Dead Cow (cDc). Mereka kemudian menggagas Hactivismo, gerakan yang memanfaatkan keahlian programing untuk mendukung kebebasan berpendapat.

Hacktivisme makin sering dilakukan setelah tahun 2000an, setelah internet makin merajalela dan makin canggih. Pada November 2010, misalnya, grup hacker bernama Anonymous menyerang website pemerintahan Tunisia lewat #OpTunisia karena pemerintahan saat itu mem-block akses ke WikiLeakes yang membocorkan korupsi di sana. Gerakan Arab Spring juga sempat memanfaatkan hacktivism dalam melancarkan aksinya.

Peretasan Sederhana

Yang terjadi pada halaman PN-Negara, laman media Tempo, dan situs SBMPTN itu biasa disebut defacement atau deface, yaitu hacking yang hanya merubah tampilan suatu website saja. Nggak merusak sistem atau ngacak-acak database.

Akun Facebook Tempo nggak lama setelah kejadian menjelaskan bahwa server DNS Tempo yang ada di Amerika Serikat lah yang disasar hacker. sementara untuk melakukan deface, yang dilakukan hacker adalah mencari tahu lubang keamanan suatu website lalu menyuntikkan file ke sana. Semua aksi ini bisa terbantu dengan aplikasi-aplikasi khususnya.

Celakanya, banyak situs dan blog yang menyediakan tutorial deface ini.

Bijak-bijaklah menggunakan teknologi, bro.

Editor : Rizki Ramadan

Baca Lainnya

PROMOTED CONTENT

Latest