Follow Us

Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 12

Alvin Bahar - Rabu, 07 Desember 2016 | 12:00
Ilustrasi: Gio
Alvin Bahar

Ilustrasi: Gio

Sesekali aku membenamkan kepala ke bawah agar kepalaku ini basah dan menjadi terjaga. Kemudian aku melipir ke sisi ujung tembok lainnya, mencari posisi yang nyaman untuk bersandar. Padahal tidak ada nyaman-nyamannya di sini. Gelap, hanya terdengar bunyi pergerakan air yang bersumber dari perpindahan tubuhku sendiri di sekitaran kolam. Lainnya, ada suara jangkrik dan desiran angin malam yang berasal dari pantai dekat pelabuhan.

Aku memandang ke sekeliling, hanya tembok-tembok yang membalas pandanganku. Untungnya bintang-bintang dan sinar bulan purnama yang ada di atas kepalaku setia menemani. Terang dan mengedipkan cahayanya. Aku berharap para penghuni di angkasa itu bisa menghiburku kali ini. Agar malam tak terasa kulewatkan dan pagi segera kujelang. Tapi, itu tetaplah ilusi. Waktu justru terasa berjalan sangat lambat. Begitulah bila kita sedang melakukan hal yang tak disukai. Apalagi bila itu mengandung risiko besar. Pada akhirnya, aku hanya bisa pasrah dan coba tegar melewati uji nyali, merasakan sensasi mandi seorang diri tanpa ada sahabat yang menemani.

Aku mencabut rumput-rumput yang tumbuh di sela-sela batu bata yang tersusun di ujung kolam pemandian. Kugunakan rerumputan itu untuk menyikat tubuhku. Tak ada sabun, rumput pun jadi.

Saat asyik membersihkan daki di sekujur dadaku, tiba-tiba ada suara kaki langkah manusia. Derapnya agak samar, namun semakin lama terdengar semakin jelas. Kini suara itu mendekat. Aku tengok ke arah baju yang aku letakan di atas bebatuan. Penglihatananku tidak rabun. Ternyata kak Suwono menghampiriku. Dia duduk sambil mengamatiku yang sedang bercanda dengan air.

Beruntung, baru satu jam berendam, kakak pembina sudah tiba. Jadi, aku tak akan ada di dalam air ini semalam suntuk hingga azan subuh berkumandang.

“Ayo naik!” seru Kak Suwono memerintahkanku untuk segera beranjak. Tangan kirinya melirik jam tangan.

“Sekarang sudah jam satu malam,” lanjutnya sambil mengulurkan tangan kanannya, menawarkan bantuan agar aku segera meninggalkan kubangan. Juluran tangan kanan Kak Suwono tentu menjadi penentu akhir dari ujian mandi.

“Aku kira Kakak tak datang,” selorohku, bersikap tegar. Seakan aku mampu untuk menuntaskan aktivitas merendam diri hingga pagi hari.

“Aku tak tega membiarkan adikku berendam sampai pagi,” ucap Kak Suwono sambil mengeluarkan roti dari dalam tasnya. “Kau sudah makan?”

“Belum,” jawabku, pendek. Ternyata baik sekali kakakku yang satu ini. Sempat-sempatnya membawa makanan untukku.

“Aku salut,” pujinya. Tapi, jangan terlalu senang dulu. Pujian adalah ujian. Kalau aku bersikap tinggi hati, Kak Suwono pasti akan memberikan tes-tes lainnya lagi tanpa henti. Tentu saja hal itu tidak aku harapkan sama sekali.

“Terima kasih, Kak,” aku mengunyah makanan pemberiannya. Nikmat sekali, sejak kemarin aku tak menemukan makanan seenak ini.

Editor : Hai

PROMOTED CONTENT

Latest