Follow Us

Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 12

Alvin Bahar - Rabu, 07 Desember 2016 | 12:00
Ilustrasi: Gio
Alvin Bahar

Ilustrasi: Gio

“Ditemani Kakak?” tentu aku ingin tahu lebih detail. Aku berharap demikian. Jika ada orang yang menjaga saat aku mandi rasanya bisa tenang. Minimal tak akan bosan. Setidakanya ada orang yang bisa diajak berbincang selama berendam di kubangan.

“Sendiri!” suara Kak Suwono agak meninggi dan jelas. Ia benar-benar ingin memberikan uji nyali yang sesungguhnya. Mengetes keberanianku dengan menyuruh untuk bermalam seorang diri. Terperanjat, mataku sebentar terpejam. Membayangkan apa yang akan terjadi. Hantu, pocong, tuyul, dan dedemit langsung berlarian di kepalaku. Bagaimana kalau mereka berunding dan sepakat untuk menakut-nakutiku? Bagaimana kalau mereka mengajakku berdiskusi dan pergi ke alam mereka? Ngeri.

Ah, itu hanya ilusi, semuanya hanya mahluk halus yang tak kasatmata. Tapi, tetap saja keberanianku kali ini sedikit ciut. Aku kaget saat Kak Suwono mengatakan bahwa aku harus seorang diri di antara kubangan air yang ditampung oleh kolam istana yang sudah tak terpakai.

“Hah...!” tercengang berkali-kali aku mendengarkannya. Kini mataku sedikit melotot. Bukan menunjukkan kemarahan yang ada, tapi menampilkan wujud ekspresi kekagetan tiada tara. Kak Suwono hanya tersenyum. Seolah hal ini biasa. Ia senang melihat rasa takutku nampak di hadapannya. Sepertinya ia puas sekali melihat adik didiknya berigidig mendengar ucapannya.

Tanpa ada yang menemani. Tentu saja kalau sendiri tak ada lagi orang yang ada di sisiku saat berendam. Kejam.

“Seriuskah kakak tercintaku?” rayuku sekaligus bertanya lagi, bagai seorang pesakitan yang sedang memohon untuk diberi amnesti. Aku tahu itu percuma saja. Ia tak akan menggubris permintaanku. Namun, apa salahnya berusaha? Siapa tahu ia akan meralat persyaratan itu.

“Ya, meskipun kau sendirian ke lokasi pemandian yang ada di Istana Surosowan, kakak akan tahu apa yang kau lakukan. Jadi, kakak tahu kau berendam atau hanya datang saja,” jawabnya penuh ancaman. Seolah ia adalah paranormal sakti mandraguna yang weruh sadurung winarah.

“Aku akan berendam. Pasti!” Aku yakin kak Suwono tidak punya indera keenam, apalagi bisa telepati, melihat dan merasakan semua aktivitasku tanpa kehadirannya. Bayanganku, dia pasti akan mengendap-ngendap, mengintip. Kemudian memantau dari jauh seorang anak pramuka yang sedang melakukan ujian aneh ini. Lalu, pada waktu-waktu tertentu, ia akan mendekat dan menakut-nakutiku secara tiba-tiba.

Bukan mandi malamnya yang menjadi masalah bagiku. Tapi, kolam persegi empat yang ada di tengah-tengah bangunan peninggalan portugis itu kotor sekali. Dahulu kala, airya pasti bersih bin bening. Kalau tidak begitu, tidak mungkinlah kolam itu digunakan sebagai pemandian para putri kerajaan. Kini, air kolam itu hanya berasal dari tumpahan hujan. Sudah begitu, semua dindingnya sudah dipenuhi lumut.

Apa daya, demi hormat kepada kakak pembina, dengan sedikit rasa terpaksa aku tetap menurutinya. Terjun secara perlahan ke kubangan air hujan dengan setengah telanjang. Tentu saja aku tidak membuka semua pakaian. Aku tak sudi jika kecebong-kecebong kecil yang ada di kolam itu menggigit kemaluanku. Aku masih perjaka tulen yang mesti dijaga pada saatnya kelak menemukan tambatan hati.

Walau harus merasakan dinginnya malam saat berendam, aku anggap ini sebagai latihan fisik dan mental. Aku berada di kubangan air setinggi dada. Kalau sudah bercampur dngan air, rasa kantuk sudah tak ada lagi.

Editor : Hai

PROMOTED CONTENT

Latest