Follow Us

Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 12

Alvin Bahar - Rabu, 07 Desember 2016 | 12:00
Ilustrasi: Gio
Alvin Bahar

Ilustrasi: Gio

“Bukan lamanya kau berendam di sini. Aku hanya ingin melihat kejujuranmu mengikuti kesepakatan yang kita buat,” jelas kakak pembina yang juga guru SMP 3 Serang itu. “Dingin dan menyeramkan. Cuma dua itu saja yang aku rasakan.” Aku tersenyum dan meraih handuk yang dibawa oleh kakak pembina. Untung aku membawa pakaian ganti, jadi hawa dingin yang menyelimuti tubuhku tak berkepanjangan menusuk tulang.

“Kamu punya mental yang cukup. Tapi, belum lebih dari cukup,” lanjutnya. Kalimat itu tentu saja menghiburku, tapi belum genap menghibur sepenuhnya. Ini pasti ada kelanjutannya. Tidak hanya berhenti pada ujian mandi malam-malam saja.

Kami berdua terduduk di pinggir kolam. Ia berbicara soal mental. Ya, mentalku harus matang. Aku sadar, di luar negeri nanti akan menemukan banyak hal baru. Menantang, beradaptasi dengan alam dan harus merasakan kondisi yang lebih parah dari sekadar berendam di kolam penuh mistis.

Aku juga tahu, nanti aku akan menemukan suasana tak biasa dan berbenturan dengan budaya yang selama ini dianut. Pola pandang dan sistem kehidupan sosial dalam suatu kelompok di sana pasti tidak akan sama. Jangankan jauh di negara orang, di sini saja wilayah satu dengan sudah tampak berbeda. Gegar budaya adalah hal yang pasti kuhadapi saat berada di negeri dengan budaya yang benar-benar berbeda. Tak kuat menghadapinya, aku akan mengalami mental break down.

Ya, fisik dan mental. Keduanya adalah poin utama yang terus dilatih selama persiapan ini. Rutin, penuh perhitungan dan serius menjalaninya. Untuk menggenjot fisik, bekalku adalah aktivitas mengayuh sepeda, beradaptasi dengan alam, serta menahan lapar dan dahaga. Aku jadi teringat perkataan Mpa pada saat sarapan pagi bersama. Beliau mengatakan, berlatih perang bagi seorang militer ada kalanya jauh lebih berat daripada berada di medan perang yang sesungguhnya.

Dalam hal menggembleng mental, berendam malam-malam di Istana Surosowan ini semoga saja lebih berat dibandingkan ujian yang kelak kutemui di negeri orang. Hal itu tentu menjadi cambuk sekaligus penyemangatku. Itu juga menjadi patokan agar terus berlatih keras tanpa mengenal lelah. Memang mudah sekali teorinya aku ucapkan, namun sulit untuk dijalankan.

Mental itu berhubungan dengan nyali dalam menghadapi apa pun yang terjadi. Selain itu, tentu harus ada kecermatan, kewaspadaan, dan kedisiplinan yang mesti tersemat dalam jantungku. Itulah modal utama yang menjadi kesimpulan obrolan kami di Istana Surosowan. (*)

Oleh: Edi Dimyati

Editor : Hai

PROMOTED CONTENT

Latest