Di tengah hiruk-pikuk tugas yang mati satu tumbuh seribu di sini, kita pasti pernah ngebayangin gimana, sih, keadaan pelajar-pelajar SMA di penjuru dunia lainnya. Apa mereka sering ngerjain soal-soal pilihan ganda kayak kita? Atau, mereka juga ngerjain uji kompetensi di buku paket?
Seiring dengan berkembangnya zaman, sebagian besar negara di dunia ini memang memberi tekanan yang lebih besar pada tugas-tugas bagi kaum pelajarnya, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Tapi, tugas-tugas sekolah di negara-negara lain tersebut berbeda bentuk dan jumlahnya. Finlandia, contohnya, yang khas banget sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik no. 1 dunia. Padahal, di sana siswa belajar dengan santai dan minim tekanan, hampir nggak pernah ada tugas-tugas ribet dan numpuk, apalagi PR. Tempat bimbel juga langka keberadaannya di sana.
“Akademik itu bukan satu-satunya yang dibutuhkan anak. Mereka lebih dari itu. Sekolah seharusnya mengajarkan makna hidup, sehingga anak bisa mempelajari apa yang dibutuhkan, dan bisa belajar kemampuan berkomunitas. Kami percaya sekolah itu penting untuk perkembangan citra diri yang baik, sensivitas yang kuat terhadap perasaan orang lain, dan mengerti tentang kepedulian untuk merawat sesama. Kami ingin semua itu tersinergi dalam pendidikan,” kata Krista Kiuru, Menteri Pendidikan dan Sains Finlandia tahun 2014 kepada The Atlantic.
Duh, rasanya pengen pindah, ya, pas denger berita itu?
Sering juga kita lihat suasana sekolah di Amerika melalui film-film Hollywood, yang kelihatannya memberi tugas-tugas asik, kayak mendiskusikan isi buku yang udah dibaca, hingga mendiskusikan berbagai film.
Penasaran dengan ‘wajah’ tugas-tugas sekolah di luar negeri ini, HAI mengobrol dengan salah seorang exchange student returnee yang sempat belajar di US, Fatiha Sabiella Rahma. Di tempat Fatiha bersekolah, tepatnya di kota Olympia, Washington State, tugas-tugas yang diberikan lumayan berbeda dengan tugas-tugas di Indonesia dari segi kuantitas, alias lebih sedikit, walaupun kalau dari segi kualitas, tugas-tugas di sana lebih membantu siswa dalam mempelajari materi.
Fatiha juga mengakui kalau kurikulum 2013 lebih mendekatkan kita selangkah kepada sistem pendidikan di sana, yang pengajarannya gak cuma searah antara guru kepada murid, dan gak text book-centered.
Selain itu, bentuk tugas yang diberikan pun berbeda dengan kebanyakan tugas kita di sini yang cenderung mengharuskan siswa untuk menghafal materi, dibanding memahaminya.
“Tugas di sana tuh emang menuntut kami buat baca dan paham gitu, loh. Jadi nggak asal ngerjain doang.” tutur Fatiha.
Memang, bisa dikatakan kalau tugas-tugas di sana tuh efisien; sedikit, tapi ampuh. Di sana, dalam pelajaran Bahasa Inggris, contohnya, mereka diberi tugas berupa membaca beberapa novel yang nantinya akan didiskusikan dalam forum di kelas. Malahan, di pelajaran US History, selain membaca novel dan berbagai roman sejarah, siswa sering juga diberi tugas untuk terus keep up dengan berita terkini, yang nantinya bakal dibandingkan dengan peristiwa sejarah di masa lampau. Seru, kan?
Berdasarkan pengakuan Fatiha, respon pelajar di sana terhadap tugas-tugasnya juga gak beda jauh, tuh, sama kita. Ada yang ambisius, ada yang males-malesan bin nggak pedulian, sampai ada juga yang sibuk sendiri dengan kegiatan luar sekolahnya. Mungkin emang kelakuan remaja di seluruh dunia gak beda jauh kali, ya. Hahaha....