Menurut kalian, enak gak, sih, punya kebebasan berpendapat dan menyuarakan ide seperti sekarang ini? Enak, dong pasti? Coba bayangkan, kalau kebebasan itu dibatasi bahkan dilarang. Apa yang bakal kalian lakukan? Apa kalian bakal membela kebebasan kalian? Jawaban sebagian besar dari kalian mungkin iya, dan itulah yang diperjuangkan kalangan aktivis di akhir era Orde Baru, atau pada tahun 1997-1998.
Namun, sebelum melihat buah dari usaha memperjuangkan keadilan, beberapa dari mereka terlebih dahulu mendapat cobaan, seperti siksaan dan penculikan. Nah, di tengah enaknya hidup kayak sekarang, kita perlu, nih, mengulik kisah dan sosok yang menggiring kita pada perubahan. Di bawah ini adalah hasil wawancara dengan seorang aktivis yang sempat diculik pada masa-masa itu, bapak Aan Rusdianto. Yuk, disimak dan jadi pembawa perubahan berikutnya!
- Apa yang membawa Om ke ranah aktivisme dan sosial-politik?
Waktu itu, tahun ’92Om tergabung dalam pers mahasiswa di fakultas. Nah, di sana Om bertemu teman-teman yang tertarik (di dunia aktivisme), dan mulai aktif berdiskusi. Kalau untuk dunia sosial-politik, saya terjun karena saat itu pemerintahan Orde Baru menggunakan sistem terkontrol, yaitu otoriter. Menyampaikan pendapat dan ide adalah hal yang sangat dibatasi. Bahkan, dilarang. Lalu kami (para aktivis) mendiskusikan untuk hendak membongkar situasi itu dengan tuntutan demokrasi, untuk membela rakyat yang pada saat itu dalam posisi teraniaya dan tidak bisa mengakses kehidupan yang lebih baik, contohnya saat itu kami membela petani Kedung Ombo yang tanahnya digusur oleh pemerintahan Orde Baru dan tidak diberi harga yang layak.- Bagaimana kronologi penculikan Om dan kawan-kawan saat ’98?
Pada 12 Maret 1998 Om dan teman-teman lain dibawa ke markas Kopassus di Cijantung selama dua hari dua malam, disiksa untuk mendapat keterangan dan diinterogasi dengan pertanyaan seputar, “Kenapa kamu demo dan mau menjatuhkan Soeharto?” “Kenapa kamu membela buruh dan petani?” “Kenapa kamu membela rakyat Timor Timur?”. Om biasanya duduk di kursi dan diikat, lalu dipukulin, atau tidur di velbed untuk dipukul dan disetrum. Lalu dari situ kami dibawa ke Polda Metro Jaya dan ditahan selama tiga bulan. Sebagian bisa pulang, sedangkan beberapa statusnya masih hilang, pihak dan aparat sebagai pelaku juga belum memberi keterangan sampai sekarang.- Kan, kita udah bisa hidup enak tanpa harus membela orang yang ditindas, Om. Apa pentingnya kalau gitu menurut Om?
Karena pada kodratnya, manusia adalah makhluk sosial. Kalau kita diem aja ngeliat orang lain menderita, kita menyalahi kodrat, dong?- Pada saat itu, informasi mengenai penculikan tersebut yang terungkap di masyarakat hanya seujung kuku atau hampir seluruhnya?
Masyaakat pada saat itu udah bisa mengakses informasi yang cukup. Walaupun ada keterbatasan dalam menyebarluaskan informasi dan opini, apalagi yang bersuara kritis. Kayak majalah Tempo atau Detik yang sempat dibredel karena menyampaikan berita tajam atas Orde Baru.- Setelah memperjuangkan Reformasi ini mati-matian, bagaimana pendapat dan perasaan Om melihat demokrasi sekarang ini?
Kalau untuk pemerintahan sekarang,segala hal cenderung liberal, demokrasi one-man-one-vote, seperti pemilihan perangkat daerah hingga ke pemilu, kan pakai sistem proporsional terbuka; siapa yang mendapat suara banyak, dia yang menang. Ini akan menghabiskan biaya yang banyak dan ditukar dengan perilaku korupsi, belum lagi resiko kepada masyarakat, yang menjadi gampang menerima sogokan. Lalu ketika calon pemimpin ini naik jabatan, dia lupa pada kepentingan masyarakat dan jadi tak acuh. Belum lagi sehabis amandemen, kuasa tertinggi setelah UUD dibagi-bagi ke beberapa lembaga, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, sehingga gak lagi dijadikan tempat untuk bermusyawarah dan bermufakat.Memang, tuntutan kita dulu adalah multipartai, tetapi sampai ke demokrasi yang cenderung liberal seperti sekarang, sepertinya melenceng atau ‘kelebihan’ dari apa yang kita perjuangkan.
- Menurut Om, apa kelebihan dari rezim Orde Baru?
Kontrol dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah berjalan lebih baik. Kalau sekarang, kan, pemerintah daerah diberikan wewenang atas sumber dayanya sendiri, dan ini kadang disalahgunakan oleh perangkat pemerintah daerah untuk memperkaya diri mereka sendiri, seperti dengan menjual SDA ke pihak swasta.- Untuk kaum pemuda terutama remaja sekolah menengah, apa yang dapat kami lakukan untuk mendekati perubahan?
Yang muda, kan, punya lebih banyak waktu dari yang tua. Pakai untuk menggali dan menyaring informasi yang banyak. Banyak baca buku atau searching, itu bakal menanamkan pandangan yang luas. Pandangan itu akan menuntun pada aksi untuk menyejahterakan orang banyak, yang terlepas dari keinginan pribadi. Pak Karno sejak 13-14 tahun udah ikut diskusi politik, loh. Selain itu, suarakan pikiran sebanyak-banyaknya. Kalian bisa juga menuntun negara atau dunia ke arah yang lebih baik dengan berproduksi dan berkarya. Jangan cuma numpang hidup di dunia, istilahnya.- Terakhir, menurut bapak, seharusnya bagaimana remaja dan pemuda di masa ini bersikap? Pragmatis, apatis, oportunis, atau idealis?
Idealis. Sebisa mungkin, miliki idealisme. Semiskin-miskinnya kita, kalau kita masih punya idealisme, jiwa kita masih ada.