Duo grup yang diperkuat oleh Adi (gitar) dan Elda (vokal) yang berdiri sejak 2011 ini memang tengah menjadi perhatian dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Dibalik nama besar Sheila On 7 dan Endank Soekamti yang bisa bertahan hingga sekarang, sudah lama nama-nama baru dari kota pelajar seperti nggak terdengar dalam skala nasional.
“Yogya emang menjadi kota yang terlalu nyaman untuk memulai karier, bahkan saking nyamannya, kalo nggak berani bergerak, ya bakal selamanya begitu aja nasibnya,” ujar sang vokalis, Elda.
Yap, terlalu nyaman bermain di café merupakan hal yang menjadi “neraka” bagi musisi-musisi potensial di Yogya. Bahkan, Sang gitaris, Adi Widodo pernah berada di posisi tersebut. “Dulu sebelum gabung sama Elda, saya pernah punya band juga dan mainnya di café-café di Yogya aja. Secara nggak langsung, itu membatasi diri saya sendiri untuk mengenal industri musik secara luas. Balik lagi, karena terlalu nyaman itu,” bocor cowok berjenggot tipis ini.
Melihat sepinya pergerakan musik di kota pelajar tersebut, Stars and Rabbit pun memutuskan pindah ke Jakarta atas gagasan Didit Saad, teman satu band Elda terdahulu, Evo. “Didit Saad yang memutuskan kalo kami harus pindah ke Jakarta. Materi udah ada, nah dia sebagai produser dan music director udah tau karya kami mau dipasarkan kemana, akhirnya kami pun manut aja,” ungkap Elda.
Akhirnya, mereka pun menuntaskan proses kreatif karyanya di Jakarta dan berhasil menelurkan tiga buah single di ibukota, Worth It, Like It Here, dan Rabbit Run. Bisa dibilang, hijrahnya Stars and Rabbit ke Jakarta itu menjadi satu turning point bagi karier mereka.
Sejak saat itu mereka terus bergerilya, hingga akhinrya mereka bisa menggelar tur Asia. Selesai menggelar tur Asia pada 2014 lalu, perhatian banyak orang orang mulai kembali ke Yogyakarta dan melihat sangat banyak potensi di kota gudeg ini. Rupanya, Stars And Rabbit nggak sendiri, ada juga seorang cewek yang dikenal dengan nama panggung Frau.
Sedikit berbeda dengan Stars and Rabbit yang menjadikan musik sebagai profesi, Frau bermusik berlandaskan hobi aja. “Iya, aku sebenernya cuma hobi musik, jadi aku awalnya nggak berniat untuk menyeriusi musik seperti musisi-musisi lainnya,” ujar Lani, satu-satunya member di Frau.
Yap, pekerjaannya sebagai antropolog menjadikan musik hanya sebagai sampingan dan penyalur hobinya aja, awalnya. Ditambah, musiknya hanya diterima segelintir orang di Yogya. Bahkan, di awal kariernya, Lani dan sang keyboard, Oskar, hanya bermain sebagai pembuka acara pameran seni.
“Dulu, lagu aku cuma diterima sama yang konteksnya seni banget, sampe-sampe aku didapuk untuk jadi pembuka acara pameran-pameran karya seni mahasiswa ISI Yogyakarta, begitu aja terus hehe,” curhat cewek bernama lengkap Leilani Hermiasih ini.
Melihat hal tersebut, akhirnya Frau memutuskan untuk merilis karya-karyanya secara online. Ia pun nggak berekspektasi lebih dari karya-karya yang diunggahnya tersebut, hanya sebatas semua orang dapat menikmati sajian musiknya. Ternyata, respon netizen pun positif menanggapi karyanya. Tentunya, hal tersebut membuat Frau semakin percaya diri.
Tapi, satu perbedaan identik antara Frau dengan Stars and Rabbit adalah bahwa Frau nggak sampai keluar dari Yogya untuk menggarap dan membesarkan karyanya. Bahkan, Frau hanya menuntaskan semua karya-karyanya melalui kamarnya!
“Karena banyak pekerjaan yang aku lakukan nggak memungkinkan untuk pindah-pindah kota, jadi aku menggarap musik dari kamarku aja sama Oskar,” jelas cewek kelahiran 2 Mei 1990 ini. Semakin lama namanya semakin dikenal khalayak, hingga pada akhirnya Frau kembali tampil di depan publik di pada pembukaan Pameran Etnografi Memoar Tanah Runcuk pada November 2014. Bisa dibilang, itulah titik balik Frau di industri musik.
Kebet cerita selengkapnya di HAI Magazine edisi 5 yang terbit sejak Senin, (1/2).